SANGGAR BELAJAR BARENG

Bilik Sastra
Bilik Musik
Bilik Teater
Bilik Wirausaha

Minggu, 15 Agustus 2010

Membangunkan Sang Penulis di Akhir Pekan

Keramaian kota yang senantiasa bersama di enam hari tidak dapat ditinggalkan bahkan sudah menjadi sebuah rutinitas yang selalu dilewati di awal mentari membukakan berkas sinar hangat mengiringi segenap kesibukan insan yang dibawahnya hingga kantuk menghantui kuning mentari, menggantinya dengan remang rembulan seperti malam-malam sebelumnya. Serasa itu juga sedang dialami gerombolan pemuda dari berbagai sudut kota kecil yang beranjak dewasa. Libur seakan enggan bersahabat untuk mereka. Hanya sebuah harapan kecil yang coba dibangunkan menjadi harapan besar bagi mereka. Semoga, semoga saja semuanya terwujud. Berbekal ketulusan serta keikhlasan yang dipetik dari tiap kalbu mereka. Gayung kebanggan untuk setiap keluarga yang disisakan sedikit waktu dengan mereka.
Sebaris tawa kecil jika ketika masuk di ingatan kala bersama. Hingga dihitungan bulan ketujuh, lelah itu tidak dirasakannya bahkan kepulangannya sudah disambut oleh para penyambut kelahirannya dulu. Perlahan namun membukakan kepastian perkumpulan itu macam konverensi tingkat tinggi. Kesibukan sekarung seolah tertadahkan di segara keharmonisan. Mengupas masalah yang mengusik serta membaginya dalam keindahan warna sejarah kecilnya.
10 jurus maut dimuntahkan pendekar bersenjata pena dengan seragam tinta hitamnya, perisai secarik kertas seakan melindunginya selalu dari keduniaan dan kefanaannya. Khusuk sekali setiap pasang telinga enggan mencela, hanya mendengar, memperhatikan, dan sesakali mengincipi putih lembaran suci yang sudah disajikannya. 10 jurusnya sudah dikeluarkan, yang lain siap untuk menimpalnya dalam keterdiaman sejenak. Hitam, muncul dari kecerahan hari itu. Serentak menodongkan pertanyaan setelah mengunggah pengalaman lalu tentang kepenulisan. Kebijaksanaan menanggapinya seraya memberikan penerimaan syahdu dalam pikirnya yang terjun di hati. Menyadari yang dilakukan selama ini tanpa diketahui juga dilakukan oleh semua peserta konverensi.
Holland terpancing oleh si Hitam, memberikan ikatan rantai kata-kata dengan pengalaman dan untaian pembacaan yang disampaikannya. Kehikmatan lagi-lagi merangkul semua kumpulan tersebut. Manusia, siapa Manusia ini? Seolah tak mengenal siapa mereka. Dulu, bukan mereka sekarang. Diam, bukan diam biasa, untuk saat ini yang mereka tunjukkan. Keterdiaman mereka dalam pembelajarannya dan sekarang mereka menyerentak ketidaksangkaan. Bahagia sekali, pagi yang beranjak menyapa siang dan berakraban dikelanjutannya. Peristiwa yang telah dilalui, apa yang mereka lakukan, tidak meninggalkan kesiasiaan di bersama meraka. Ternyata sedikit tapi beranjak banyak mereka mulai mengais segala yang tersisa di tiap peristiwa. Kebesaran akan menanungi mereka.
Salju yang menyelimuti saraf-saraf otak, perlahan mulai mencair dan menghangatkan suasana serta saling menyisipkan wawasan di sela-selanya. Menyatu juga ternyata,bagai koalah dengan airnya selalu menyediakan untuk setiap basuhan. Mulai mengusap halus kenangan yang terbingkai padat. Semua pernah menulis, dalam kenangan mereka membuka benteng yang menghambatnya. Kelakuan apa yang dilakukan setelahnya, bagaimana cara merobohkannya. Semua disiapkan sebagai penghantam benteng kokoh di sudut pandangnya. Roboh tidak segampang itu terjadi. Menggerogoti ditirunya dari rayap, tupai, bahkan tikus. Terpenting bagi mereka bagai mana merobohkannya dan harus roboh.
Membangunkan sang penulis. Padahal sang penulis sebenarnya ada di tiap diri mereka. Menyeretnya untuk meninggalkan ensiklopedi kehidupan sebagai sejarah kehidupannya meskipun mereka bukanlah seorang pahlawan yang harus dikenang bangsanya. Namun mereka adalah pahlawan bagi keluarga, rekan, sahabat, serta yang pernah mengenal mereka. Mereka wujudkan impian kecilnya, di kesempatan waktu mendatang mereka akan menjadi pahlawan. Akan tetapi, pahlawan yang sebenarnya pahlawan.

Jombang, 18 Juli 2010
(Rahmat Sularso N.H., Tumenggung GubugLiat Jombang. Pernah menempuh pendidikan di STKIP PGRI Jombang, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2006. Sehari-harinya sebagai networker, menulis, bergiat di Dewan Kesenian Jombang sebagai anggota Biro Sastra, dan bekerja di radio Suara Pendidikan Jombang. Turut serta dalam diskusi kebudayaan dan sastra. Sekarang, sedang menyelesaikan beberapa buku kumpulan puisinya)

BELAJAR SENTOSA DENGAN ARIF

Jawa Pos: [ Minggu, 15 Agustus 2010 ]
Belajar Sentosa dengan Arif

ARIF B. Prasetya -penyair, cerpenis, dan kurator kelahiran Madiun itu- merintis karir kepenulisan di Bengkel Muda, Surabaya, ketika berkuliah di ITS. Dia lantas menikah dan bermukim di Bali. Relatif tenang, tanpa gegar budaya yang menyeruak ke permukaan sebagai teks sastra, tidak seperti Oka Rusmini yang gerah dimarjinalkan oleh lingkungan padahal dirinya hanya mengutamakan cinta.

Sebagai esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering mampir untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya, tidak ada jejak kiri Neruda dalam puisi Arif B. Prasetya, meski ilusi surealisme dan puitika diksi berkonotasi magistik Amerika Latin berpecototan dalam puisinya. Mungkin itu dampak kepekaan, akibat kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre sama, karena menandai puisi terbaik sebagai ''yang melampaui apa yang sering dibaca (baca: cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui''.

Resepsi Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan (di sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab, itu tiba di konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan menemukan perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski, perbedaan itu merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat menentukan titik netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang kanan bisa dianggap codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan. Kenapa saya bilang begitu? Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lagi. Aneh!

***

MUNGKIN karena Arif B. Prasetya (kini) di Bali. Yang lebih lucu, amarah kepada Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas diskusi, dan bahkan (kini) sekantor -meski berbeda aplikasi ijazah- yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta cuma sukses karena mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang kuasa menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Kalau konstelasinya begitu, bukan Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang salah itu Jakarta, bahkan kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan jarak estetik Jaussian Jakarta.

Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa memang ada kemarahan pada lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena kemarahan personal cq individu yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?

Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.

Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba dengan merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.

Penolakan lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk bebas, dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu?

***

MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.

Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.

Persis seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga dipaksa pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku acuan ramalan tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan kesimpulan yang sama bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu rahasia Illahi. Arif B. Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung, dan yang lain berpikiran serta berbicara identik karena bacaannya sama sehingga cakrawala harapan dan obsesi jarak estetika Jaussiannya sama.

Karena itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi penulis yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian, Subagyo Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren puisi dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa menulis puisi yang lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter. Bacaan membuat penyair yang belakangan, para pengikut, mampu menulis lebih bagus karena leluasa mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih optimal.

Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa total menerapkan konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. Sebab, menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.

***

TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ekspresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan itu kita sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari Mutaqien, bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. Saestu, setidaknya bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark Twain, jangan menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua pagar di jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu tegak melekat di kayu mendatar.

Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)

*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun

Jumat, 13 Agustus 2010

MENYAMBUNG TULISAN AF TUASIKAL; "Menegakkan Estetika Alternatif"

MENYAMBUNG TULISAN AF TUASIKAL; "Menegakkan Estetika Alternatif"

Oleh: Beni Setia



KOMPAS JATIM CETAK: Jumat, 13 Agustus 2010 | 15:50 WIB

SUMBER: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/13/15501669/menegakkan.estetika.alternatif.



Tulisan AF Tuasikal, "Birokratisasi Sastra Jawa Timur" (Kompas, 29/7), meski hanya menyasar puisi dan inventarisasi penyair, sebenarnya menyodok dominasi Dewan Kesenian Jawa Timur di satu sisi dan kecenderungan adanya dominasi estetika yang amat mendikte selera redaksi, kurasi antologi bersama, serta aspek kebermutuan puisi mutakhir. Sebuah gugatan yang menohok tetapi dengan beberapa salah asumsi.



Pangkal keberangkatannya kasuistik merujuk pada selera estetik puisi mutakhir, dan karenanya memakan korban bagi yang tak mengikuti pakem estetika dominan saat ini. Di titik ini, bukan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang salah, juga bukan para pengamal estetika dominan, yang salah justru cara menginventarisasi dan mengekspresikan estetika tandingan. Tahun terakhir ini ada gerakan "pribuminisasi" yang menentang selera postmodernism ala TUK cq jurnal BoemiPoetra. Sayang ide yang maunya multiestetik itu, dengan merangkul genre sastra buruh, sastra kiri, dan sastra Islami, hanya bagus di aspek ide tetapi gagal menghasilkan karya kualitatif bahkan, penolakan itu jadi agresi personal.



Padahal, khazanah sastra selalu menuntut ekspresi unggul dan estetika yang dieksplorasi sehingga menghasilkan karya, yang bila tidak diungkapkan demikian oleh si A, kita tidak akan menemukan orisinalitas ekspresi. Optimalisasi ketika menggali isi potensi kreativitas dan kemungkinan estetika akan menghasilkan karya yang kualitasnya sejajar dengan estetika dominan. Rendra membuktikan asumsi itu meski keunggulannya tidak terletak pada teks, melainkan pelisanan teks yang memukau. Sajak sosial Rendra benar secara fakta sosial dan ekspresif menggedor saat dilisankan di podium meski tidak berbunyi sebagai teks apabila diukur estetika media ungkap teks yang harus orisinal.



Itu bukti eksplorasi. Itu optimalisasi potensi diri sekaligus diskursus problem sosial faktual sehingga masalah semua orang menjadi masalah yang terempati dan ekspresif ketika diungkapkan dalam pelisanan teks puisi. Sejajar dengan puisi Taufik Ismail, yang meski tanpa dramatisasi, tetap mampu menyihir dengan retorika-memanfaatkan intonasi dan artikulasi. Pencapaian ekspresi Rendra itu bisa ditelusuri dari kecondongan menulis balada dan narasi dramatik, seperti terlihat dalam Blues untuk Bonie atau Kotbah dan Taufik Ismail dalam Kembalikan Indonesia Padaku.



Tidak terdidik



Institusi yang secara politik estetika tidak pernah mau memanfaatkan kuasa dalam hal mengeblok estetika dominan atau mendukung bibit estetika tandingan. Sementara itu Tjahjono Widijanto pada acara Temu Sastrawan Jatim 2009 mengeluh kesulitan dalam hal menginventarisasi karya sastrawan Jatim. Sementara dengan buku Pesta Penyair, Arief B Prasetyo (JP, 25/7) menandai suburnya penulisan puisi di Jatim. Meski kebablasan memakai pseudoteori, dengan berasumsi itu disebabkan bahasa Jawa standar tidak pernah bisa dipakai menampung ekspresi orang Jatim yang egaliter dan tidak terdidik tradisi Jawa mataraman bukan karena bahasa Indonesia punya khazanah sastra dan referensi keilmuan yang relatif lengkap serta gampang diakses.



Dengan kata lain, yang dibutuhkan tetap totalitas berkarya, komunitas yang bisa mengintensifkan dialog yang saling mendewasakan dalam tradisi peer teaching, dan manifesto diikuti karya yang menonjol. Selain itu, dibutuhkan pula kritikus dan ahli teori yang mampu melegitimasi karya dan eksistensi komunitas. Ini sekaligus tidak bisa diproses secara terbalik. Boemipoetra membuktikan kegagalan itu. Bahkan, ikon intelektual macam Arief Budiman dan Ariel Heryanto hanya mampu memicu isu estetika alternatif, tetapi gagal menghasilkan karya mutakhir dari sastrawan yang diilhami isu sastra kontekstual. Ini berbeda dengan TUK dan kelompok studi Kalam, lebih tepatnya lingkaran Tempo.



Fenomena estetika TUK itu menarik kalau bisa menelusuri bagaimana genre puisi dan prosa mutakhir dibentuk sebelum dominan menguasai khazanah sastra Indonesia. Dan, satu perlawanan dengan memicu keberadaan beberapa estetika tandingan tanpa ada pengamatan mendalam terlebih dahulu hanya akan jadi teks caci maki, yang melahirkan pengikut mahapemberang Saut Situmorang-atraktif bikin rujak setiap hari padahal rujak mengganggu kesehatan pencernaan, kalau mengutip Sutan Takdir Alisyahbana.



Namun, apa perlunya mengugat dominasi kritikus dan determinasi (selera) kritik yang cuma melegitimasi karya tertentu apabila kita bisa melawannya dengan kesuntukan berkarya dan senyum saat mampu mempersembahkan karya otentik?



Beni Setia Pengarang, Tinggal di Caruban

Minggu, 08 Agustus 2010

DIAM

Diam diam diam
Aku diam diam aku
Diam aku terdiam
Mengapa aku diam
Aku diam mengapa

Aku diam seribu bhsa
Seribu bhsa aku diam
Diam diam diam

A......ku di......am
Aku hanya bisa diam
Diam hanya aku bisa
Di.....am aku diam

(Surya; bergiat di Sanggar Teater Gendhing, Muara Enim, Sumsel)

Perang Sastra di Kandang Buaya

Jawa Pos, [ Minggu, 08 Agustus 2010 ]

Perang Sastra di Kandang Buaya


Situasi sastra di Jatim terkini bergerak dalam tarikan krusial yang kian menyedot huru-hara tak berujung dan meruncing. Hal ini berawal saat Komunitas Salihara Jakarta mengundang enam sastrawan Jatim. Mereka adalah S. Yoga, Timur Budi Raja, Indra Tjahyadi, A. Muttaqien, Mardi Luhung, dan Steffany Irawan. Acara itu berlangsung pada 14 Juli 2010 di markas Salihara dengan tajuk diskusi ''Sastra Indonesia Mutakhir Jawa Timur''. Di media Facebook agenda itu juga diunggah dan direspons. Reaksi pun meruyak. Ada tanggapan yang biasa-biasa saja, dingin, bising di kepala, juga ada yang sinis. Misalnya, nongol komentar, ''Eh, mau jualan kambing ya di sana..." dan bla-bla-bla. Esai kuratorial Arif B. Prasetya tentang itu dia kirim dan ditayangkan di Jawa Pos (25/7/2010) lalu ditanggapi W. Haryanto (1/8/2010) yang menyorot politisasi sastra dan sentralisasi sastra Jatim oleh pihak Jakarta.

Lha, Jakarta ini didefinisikan sebagai apa dan siapa yang berkepentingan lebih politis di dalamnya? TUK dengan gerombolannya versus sastra Jatim atau keduanya berkolaborasi membikin arus sastra sendiri dan menenggelamkan wilayah riil sastra yang lain? Atau benarkah terjadi agresi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dalam mengotak-atik sejarah sastra Jatim seperti yang disebut W. Haryanto dengan penghapusan sejumlah pengarang serta kapling-kapling pilihan estetik mereka? Ini seperti gerak ''lempar batu sembunyi saling tahu'' antara yang dilawan dan yang melawan, ataukah hanya indikasi krisis identitas kepengarangan yang tersamar, dalam hiruk percepatan isu, kasak-kusuk sastra, sampai cas-cis-cusnya lewat berbagai media?

Kompor Tersulut

Politik sastra, apa pun bentuknya, dan upaya pemetaan sastra Jatim sebagaimana yang terlalu sering digembar-gemborkan oleh semacam dewan kesenian, padahal kenyataannya hanyalah omong kosong, jika ikhtiar itu sekadar diwujudkan dalam bentuk antologi puisi, misalnya. Maka tudingan miring W. Haryanto atas DKJT (Dewan Kesenian Jawa Timur) yang menerbitkan buku Pesta Penyair (2009) harus dilihat sebagai bukan usaha pemetaan atau penyortiran penyair-penyair pilihan yang diklaim bermutu. Sorotan urgen adalah bagaimana membaca pola kerja DKJT dalam mengurusi kesenian (sastra) dan mau turun ke lapangan menyusuri denyut komunitas-komunitas sastra atau penulis-penulis yang bersemai di 38 kota dan kabupaten di Jatim. Jelas ini butuh keringat lebih. Dan, si penuding ketidakberesan kerja DKJT ya percuma saja dan bisa lain perkara. Politik dagang kambing atau ''dagang sastra'' di wilayah yang lebih luas ''dagang kesenian'', sudah lazim terjadi dan begitulah praktiknya. Seniman atau pertunjukan kesenian kerap dijadikan ''ganjal'' untuk kepentingan politik praktis. Banyak dewan kesenian yang tidak sepi dari pertelingkahan dan pembusukan macam itu.

Karena itu, soal pemetaan sastra tidak cukup mengunduh lalu mengolah informasi dari pejabat DKJT, redaktur koran, ataupun kliping-kliping sastra. Tilikan historis, kronik situasi sosial, periodisasi, data tokoh-tokoh penggerak di dalamnya, hingga ritual sastra yang permanen sampai yang eksidentil harus menjadi kajian pula. Sebab, yang dinamakan ''pemetaan'' adalah riset intensif, mendalam, upaya pembandingan, dan paham betul kenyataan di lapangan. Pemetaan harus mencari bahan dari yang kualitatif sampai yang kuantitatif. Tanpa bahan, atau bahan yang minim, mana mungkin bisa memetakannya.

Jadi, tulisan Arif B. Prasetya di Jawa Pos yang berlambar ''Jawa Timur Negeri Puisi" itu barangkali semata untuk hajatan Salihara yang sifatnya even. Alasan Arif memilih enam sastrawan Jatim mutakhir itu: ''Karya mereka saya nilai representatif untuk menampilkan sketsa perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur kiwari. Namun, selain soal kemutakhiran belaka, perkara intensitas kreatif, pencapaian estetik, dan kematangan pengucapan menjadi poin penting yang menentukan terpilihnya mereka sebagai wakil Jawa Timur di forum ini."

Namanya juga kendurenan, alasan Arif tersebut sah-sah saja. Dan, W. Haryanto tak perlu kobongan jenggot, malah tanggapannya agak melenceng ke wilayah problem internal DKJT. Ini makin bikin panas atau dia sengaja menyoal ketidakbecusan lembaga tersebut. Sebagai kritik, itu baik dan korektif. Tapi, kritik yang dipersepsi negatif bisa jadi ''kompor mbleduk''. Ini angin (isu-isu sensitif) yang sengaja diembuskan atau berembus sendiri? Ataukah justru dia hendak menggelontorkan ''perang'' TUK vs sastra Jatim? Wah, bisa jadi perang jilid kedua antar ''Boemipoetra'' Saut Situmorang melawan ''TUKulisme'' ini!

Lamunan Pemetaan Sastra Jatim

Perseliweran dialektika sastra di wilayah luar kekaryaan di Jatim nyata-nyata menjadi penyakit tersendiri yang juga mengimbas pada dangkalnya sejumlah tampilan wacana kesastraan atau even sastra yang digelar DKJT dan lembaga-lembaga kampus terkait sebagai jejaringnya. Misalnya, diskusi pada 20 Juli lalu di kampus Unair yang menggelindingkan tema Arah dan Perkembangan Sastra Jawa Timur. Tiga penelaah dihadirkan: Afrizal Malna (Geopolitik Sastra Jawa Timur: Identitas dan Tubuh yang Dilepaskan dari Bahasa), Tjahjono Widijanto (Meraba-raba Arah Perkembangan Warna Estetika Puisi Jawa Timur), dan Nu'man Zeus Anggara (Sekali Lagi Masa Depan Sastra Jawa Timur). Coba Anda cermati tema dan dua judul dari dua pengulas terakhir. Terkesan genit dan memang paparannya sebagaimana esai sastra pada umumnya yang sekadar referensial, bukan hasil riset. Dari tema dan judul demikian, seakan-akan sastra Jatim sangat mendesak dibeberkan petanya hingga perlu peramal dan diramal-ramalkan! Seperti ada penyakit ganas berbentuk ''watak anak jajahan'' dan ''gampang amuk'' yang teramat ''halus'' yang diwariskan Untung Suropati dan Trunojoyo dalam melawan Kompeni. Di sela-sela obrolan seusai diskusi itu, Afrizal sambil menyupiti pangsitnya sempat bertanya kepada saya, ''Tadi diskusinya kok nggak bunyi ya?''

Surabaya ''Sisifus Gila''

Beberapa penggawa sastra Jatim seolah menanggung beban psikologis yang akut, latah, dan kekanak-kanakan (melebihi Sisifus gila) yang dihajar kalut bahwa diri mereka dan kelokalan ''Surabaya"-nya itu suram ditilap zaman dan khawatir tak mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia. Istilah ''berpikir ala Jakarta'' yang dialamatkan W. Haryanto kepada sejumlah orang yang disasarnya juga mengindikasikan bahwa model karya-karya mereka yang berbau-bau (tapi W menyebutnya dengan ''menjiplak'') Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, dan Sapardi Djoko Damono. Pola pikir penulis puisi yang terjangkiti sindrom ''anak jajahan", minder tapi narsis, serta mengidap chauvinisme parah terlihat pada penyair A.F. Tuasikal. Dia menulis esai yang dipajang di Facebook-nya pada pertengahan Juli ini: ''Surabaya Kota tanpa Penyair''.

Di awal tulisan tersebut, Tuasikal menulis begini: ''Kita tahu bahwa Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta di negeri tercinta Republik Indonesia ini. Tapi, kini apalah arti sebuah kota besar bila tanpa atau tak ada penyairnya yang menjaga tradisi dan kekhasan kotanya. Yang saya maksudkan di sini bahwa Kota Surabaya kini hanya melahirkan para penyair dari luar kota, tidak melahirkan penyair dari kotanya sendiri."

Jelas, dia tidak ngomong soal karya, tapi tentang tanah, urbanisasi, lapangan kerja, godaan gemerlap kota, krisis identitas, yang pastinya ahistoris dan tidak menilik Kota Surabaya sebagai ''sejarah sosial-politik yang terus bergerak". Padahal, dia penyair asal Mojokerto. Namun, esainya tersebut jadi ''kue gurih" yang dikerubuti hingga mencapai seratusan penanggap: ada Nuruddin Asyhadie, Ragil Sukriwul, W. Haryanto, Saut Situmorang, Umar Fauzi Ballah, Sihar Ramses Simatupang, Halim H.D., Thendra Malako Sutan, Mashuri Alhamdulillah, Diana A.V. Sasa, Imam Muhtarom, dan lain-lain. Jadi, aneh bukan si Tuasikal ini?

Tuasikal juga menyebut bahwa, ''penyair-penyair yang terlahir di Surabaya kini cenderung pragmatis terhadap mainstream yang berbiak di Jakarta." Begitu besar persoalan yang mengerami hidupnya, dan ini akan memerosotkan kerja kreatifnya. Rata-rata para penanggap itu memang menyerang ''Jakarta". Gundukan beban ini makin mengawang-awang. Isu dan persoalan-persoalan kota, perubahannya, gerak pembangunannya, juga memengaruhi diri para penyair Jatim. Komentar Halim H.D. di esai Tuasikal itu cukup mengena: ''Surabaya, kota kedua terbesar di Nusantara. Jatim, provinsi terbesar di Nusantara. Surabaya memiliki gempita kepahlawanan. Surabaya serta Jatim memiliki sorak sorai ''kebudayaan arek''. Jatim juga menjadi populasi terbesar kaum Nahdliyin.... dan Jatim juga selalu menepuk sebagai wilayah di mana Majapahit menjadi miliknya. Dari Jatim juga ada suara tentang kebudayaan panji sebagai miliknya. Begitu banyak beban nilai dan sejarah bagi Surabaya dan Jatim. Aneh bin ajaib, kenapa pula pemetaan teater, sastra, selalu saja meminta pihak lain untuk memberikan validitasnya."

Dinamika sastra kita, dalam hal ini di Jatim, mengalami percepatan yang luar biasa hingga kuasa menginstruksi wilayah privasi beserta eksesnya. Media Facebook dan yang sejenisnya menjelma menjadi medan gagasan, bahkan yang bermuatan ideologis, mulai ''gosip sastra" yang remeh-temeh, caci-makian, obral aib, proyek pemetaan sastra yang sekadar ''upacara", hingga perang antarkubu sastra Jatim dengan hegemoni sastra Jakarta di atas.

Selamat merayakannya! (*)

*) Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta (Tanggapan untuk Arif B. Prasetya)

[ Minggu, 01 Agustus 2010 ]

Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta
(Tanggapan untuk Arif B. Prasetya)


PANDANGAN Arif B. Prasetya tentang sastra Jawa Timur (Jawa Pos, 25 Juli 2010) bukanlah ''sesuatu yang baru'', tetapi hanyalah runutan catatan politis yang diperkenankan oleh Dewan Kesenian Jakarta terhadap sejarah Jawa Timur. Agus R. Sardjono secara eksplisit menyebut, kelisanan (orality) dalam kehidupan sastra modern Indonesia harus segera beralih menuju keberaksaraan (literacy) (pengantar buku Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Acuan Arif B. Prasetya pun tak jauh-jauh dari itu.

Tampak jelas, bahwa ''persemaian Jawa Timur'', yang dicatatkan, katakanlah pada buku Pesta Penyair (DKJT, 2010), hanya kepentingan pusat untuk mengontrol wilayah-wilayah jajahannya. Politik itu semakin jelas dengan tidak tercantumnya nama Kuspriyanto Namma dan Bagus Putu Parto dalam buku Pesta Penyair. Sebab, dua penyair itu adalah gerbong utama Revitalisasi Sastra Pedalaman, sebuah gerakan sastra yang menolak perspektif Jakarta pada era 80-an dan sedikit menganggu ''tidur nyenyak'' Jakarta. Faktanya, dua penyair tersebut tetap berproses dan menulis karya-karyanya, antara lain, terlihat dalam antologi Malsasa (2009). Lebih celaka lagi, muncul penyair-penyair yang ''tak punya sejarah'' yang dipaksa masuk ke buku terbitan DKJT itu.

Jakarta memang punya kepentingan strategis -dengan menghapus ''kelisanan'' sastra dalam sejarah sastra Indonesia- utamanya berkaitan dengan politik identitas. Jakarta masa kini, dengan memanfaatkan pelembagaan puitiknya (DKJ dan media massa terbitan Jakarta), berupaya mencengkeram militansi kedaerahan. Seperti ungkapan Sutardji Calzoum Bachri, ''yang dibutuhkan Riau adalah merdeka dari estetika Jakarta'' (dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Implikasi standardisasi estetika khas Jakarta justru mempermiskin persemaian sastra dan cenderung menciptakan budaya plagiat dan penyeragaman karya. Karena itu, puisi-puisi Jawa Timur ''hampir tak biasa'' menyokong berbiaknya dinamika kebudayaan Indonesia -karena kebanyakan penyair cenderung ''menjiplak'' Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, maupun Sitok Srengenge. Toh, kalaupun ada militansi dan fragmentasi estetika, penulis-penulis militan itu pun tidak diakui oleh pelembagaan kesenian formal di Jawa Timur. Inilah kenyataannya.

Toh, sebuah teori sastra tidak bisa dipakai untuk menilai ratusan kreativitas. Tak urung, Lucien Goldmann menyebut, ''Teori saya (strukturalisme genetik) hanya bisa dipakai untuk membahas karya Andre Marlaux, Pascal, Jean Recine, atau karya-karya lain yang punya struktur yang sama dengan tiga karya tersebut.'' Karena itu, dibutuhkan begitu banyak cara pandang untuk membaca Jawa Timur -dan bukan lewat ''asumsi'', tetapi penjelmaan riset, analisis, dan tumbuhnya berbagai persepsi untuk mewadahi berbagai gejala kesastraan.

Militansi dan ketidakpuasan komunitas sastra terhadap sumbu-sumbu kekuasaan Jakarta ''memicu'' tumbuhnya konsep independen tentang kualitas karya. Dengan begitu, definisi kualitas berujung pada indikator komunikasi antara teks dan audiens secara langsung. Seiring timbulnya sikap skeptis terhadap ''replika'' kesadaran Jakarta. Berbagai alternatif muncul, baik lewat pembacaan puisi maupun penerbitan. Kita bisa mencatat, antara lain, Mimpi Jakarta (R. Giryadi, 2006), Suara-Suara Sumbang (Rego S. Ilalang, 2006), Reuni (Ali Ibnu Anwar, 2006), Kesaksian Sebuah Perjalanan (Brewok A.S., 2004), Pisau Melukis Gelas (Igbal Barras, 2009), juga antologi Malsasa yang terbit 2005, 2007, dan 2009 (daftar itu sebenarnya masih cukup panjang).

Grand design Jakarta perihal estetika dan keberaksaraan hanya menyentuh lapisan terluar Jawa Timur, yakni penulis-penulis yang ''berpikir ala Jakarta'', utamanya penyair-penyair Surabaya. Pergeseran estetika terjadi pada beberapa sektor. Pertama, mobilitas sastra online (internet) yang telah memengaruhi persepsi terhadap sejarah sastra (sastra koran). Dengan demikian, reproduksi sastra dan pembentukan karakter terjadi lewat pembiakan yang ''hampir tanpa kontrol''. Pengertian kualitas -yang awalnya menjadi status quo dan hak-hak istimewa kaum akademisi, redaktur, aparat-aparat kritis-lambat laun runtuh dan tak punya hak bersuara lagi. Dialektika terjadi semarak, hampir tak berjarak lagi antara penulis dan audiens, konstruksi pikiran pun dibongkar sebebas-bebasnya.

Kedua, menguatnya aspek ''kelisanan'' yang menggali sumber-sumber inspirasi dan pengetahuan dari apa yang kita kenal ''kehidupan sehari-hari''. Komunikasi sederhana antarindividu, makna-makna yang terkesan verbal dan struktur puitik yang simpel dan ''tidak bertele-tele''. Seperti tampak pada kutipan karya Kuspriyanto Namma berikut ini.

Mula-mula hanya menebang sebatang pohon

Tak ada teguran

malah mendapat tambahan kawan

maka ramai-ramai mengubah hutan jadi ladang

ditanami palawija yang menguntungkan

Mula-mula hanya banjir besar kecil-kecilan

dianggap cobaan ringan

ketika rumah-rumah hanya terlihat wuwungan

baru tersadar bahwa hutan telah hilang

butuh dua puluh lima tahun untuk menanam

(Sajak Catatan Tahun 2007, antologi Malsasa 2009, hal. 50)

Struktur puisi di atas hampir tak memakai konstruksi simbol yang berbelit. Pesan yang disampaikan cukup sederhana, tetapi cukup menggugah emosi -dan ditandai ''psikologi otomatis'', yakni upaya penyair yang memindahkan objek dengan tanpa membebani pikiran-pikiran abstrak. Kuspriyanto Namma membangun konstruksi puitiknya dari bentukan tanda-tanda yang lazim dan mengubah peristiwa referensial menjadi ''bunyi pikiran'' yang khas. Teknik itu mengingatkan kita pada beberapa sajak Rainer Maria Rilke dalam kumpulan The Cornet.

Tampak sekali perbedaan antara persepsi Jakarta dan kebanyakan penyair-penyair Jawa Timur. Jakarta masih belum selesai mempersoalkan ''bahasa'' dan bagaimana meletakkannya -sebagai sesuatu yang abstrak, eksklusif, dan terus-menerus dieksplorasi (hampir tanpa ujung). Sebaliknya, sebagian penulis di Jawa Timur sudah selesai mempersoalkannya (setidaknya sesudah euforia reformasi) dan justru menggali inspirasi yang lebih konkret dan rasional. Karena itu, cukuplah naif jika asumsi Jakarta ditempatkan untuk membaca Jawa Timur. Terlebih, karena komponen struktur dan alam budaya yang melatari kreativitas tak mungkin dibakukan. Juga, butuh banyak persepsi untuk mendalami ''bawah sadar'' penulis-penulis Jawa Timur. (*)

*) W. Haryanto, ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar dan ketua Forum Alumni Unair Independent (FauNA)