SANGGAR BELAJAR BARENG

Bilik Sastra
Bilik Musik
Bilik Teater
Bilik Wirausaha

Senin, 30 Mei 2011

MEMBACA NUREL, MEMBACA SUTARDJI

Posted by PuJa on May 23, 2011

Fanani Rahman

“ akulah Jala Suta, memberontak
adalah siasatku menghormati nenek moyang.”

Kutipan di atas adalah penggalan dari larik terakhir puisi panjang Nurel Javissyarqi, Balada Jala Suta, yang ditulisnya lebih 10 tahun lampau, dalam kembara kreatifnya di Yogyakarta. Dari larik puisi itu pula saya mencoba silaturahmi “mengenal” proses kreatifnya, sebab akan terkesan sok akrab kalau saya mengistilahkan “menyelami” atau “mengupas” atau istilah lain — yang malah kurang nyaman.
Saya belum pernah bertemu langsung dengan Nurel, hanya sekali bersapa via sms, seminggu lalu, atas budi baik Sabrank Suparno yang berbagi nomor HP, yang telah duluan jadi teman bersastra. Sementara dari catatan Fahrudin Nasrulloh, saya mendapatkan sekilas gambaran sosok Nurel, yang digelari sebagai penulis pemberontak, yang nekad dan gede nyali bikin penerbit sendiri, PUstaka PuJAngga.
Saya pun akhirnya berkenalan juga dengan situs sastra-indonesia.com, situs yang konon dibuat dengan nekad pula oleh Nurel 3 tahun lampau. Yang dengan jujur saya acungi jempol, karena telah mampu menjadi lembar-lembar propaganda, menjumput karya-karya sastra yang tak tergapai media massa.

Baiklah kawan, ijinkan saya mulai masuk,

adegan I :
Fenomena Sekte Sutardji Calzoum Bahri (SCB).
Dalam sejarah sastra Indonesia, nama SCB melesat bagai kejora, sekitar tahun 1970-an, tatkala tampil membaca puisi tunggal, dengan gaya yang nyleneh, membaca puisi sambil menenggak bir dan mengayunkan kapak di atas panggung. Gelar kepenyairannya makin kokoh, ketika dia memproklamirkan “Kredo Puisi” tahun 1973, sebagai konsep bersastranya. Oleh beberapa pengamat dia dianggap sebagai pembaharu perpuisian Indonesia, bahkan diberi gelar Presiden Penyair Indonesia.

Untuk menyegarkan ingatan, berikut saya kutip kredonya :
“Dalam (penciptaan) pusi saya, kata-kata saya biarkan bebas…
Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama,….
Sebagai penyair saya hanya menjaga – sepanjang tidak mengganggu kebebasannya – agar kehadirannya yang lebih bebas sebagai bentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya-adalah Kata. Dan Kata pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”

Kredo puisi yang diproklamirkan itu, sungguh luar biasa efeknya, ibarat strategi memenangkan peperangan dan legitimasi atas keistimewaan karyanya. Sejurus itu, blantika sastra mengamininya, tersebutlah SCB sebagai pembaharu puisi tanah air. Konon, sejak itu SCB dianggap meluruhkan mitos Chairil Anwar Sang Pelopor angkatan 45, sebagaimana jua Chairil meluruhkan mitos Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah.
Posisi SCB mendapat tahta yang istimewa dalam jagat sastra Indonesia, iapun banyak mendapat penghargaan sastra, antara lain South East Asia Writing Award (Sea Award) di Bangkok, Thailand (1979), dan Anugerah Sastra “Chairil Anwar” (l997-l998) dari Dewan Kesenian Jakarta. Puisinya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Hingga tergelar acara “Pekan Presiden Penyair” yang dihelat di Taman Ismail Marzuki–menara gading sastra– untuk merayakan usia 66 tahun SCB, paling tidak ini menunjukkan seberapa penting eksistensi Sutardji dalam sejarah sastra Indonesia. Konon, acaranya sungguh semarak, menghadirkan pembicara-pembicara sastra dari negeri tetangga pula. Setahu saya, belum pernah ada penghidmatan atas penyair yang diwujudkan dalam agenda sastra sebegitu meriah, sebagaimana yang diberikan terhadap SCB ini. Kecuali mungkin terhadap tokoh-tokoh yang sudah tiada, pada Chairil Anwar misalnya.
SCB telah berhasil menciptakan mitos dirinya. Telah berhasil membangun sekte sastra tersendiri (meminjam istilah Oyos Suroso HN). Betapa tidak, semua yang keluar dari dirinya selalu dianggap memukau, nyleneh, mempesona, dielu-elukan. Sosok dan penampilannya yang nyleneh, konon telah dianut dengan takdzim oleh beberapa generasi setelahnya. Kabarnya, salah seorang lomba baca puisi dalam rangkaian acara “Pekan Presiden Penyair” itu, membawakan puisi berjudul “Mas Kawin” nyaris tanpa busana dan beraksi panggung layaknya sebuah peristiwa ranjang.

Adegan II :
Nurel pun takjub pada Presiden Penyair.
Sebagaimana halnya pengelana sastra yang lain, Nurel pun takjub atas kepiawaian SCB. Ini bisa dirasakan pada bagaimana buncahnya dia mengisahkan, bertemu sepanggung dengan SCB, saat rangkaian peristiwa pengukuhan Abdul Hadi WM sebagai Guru Besar, di Kampus Paramadina, Jakarta.
Pun bagaimana Nurel memberikan catatan hormat atas kumpulan esai SCB, Isyarat, terbitan Indonesia Tera, 2007. Berikut saya kutip ulasan Nurel :
“Membaca Isyarat Tardji, serasa mendengar paduan suara jaman, yang didengungkan kumpulan serangga nan berkumandang.” (dari esai “Isyarat Tardji Tergeletak dan Codot” 17 September 2010)

Pada paragraf lain, ia menulis :
“Ia telah melampaui seorang diri, genap sudah usianya melegenda; seumur hidup dikawal kalimah-kalimahnya, praktis paripurna. Bahasa menterengnya, Tardji itu segugus peradaban perpuisian di Indonesia.” (dari esai “Isyarat Tardji Tergeletak dan Codot” 17 September 2010)

Adegan III :
Jala Suta menggugat.
Pada beberapa agenda apresiasi sastra, dimana SCB didaulat jadi pembicara, yang sering diapresiasi bukan pada proses pemahaman terhadap karya-karya SCB, bukan pada tematik – inti ruh karyanya, tapi lebih pada kenyentrikan dan kenylenehan style dan performa sang penyair. Ini tentu tak lepas dari keberhasilan SCB membangun mitos, yang mana sejarah dan pengajaran sastrapun mengamininya.
Dari beberapa catatan yang ada, belum saya temukan ulasan minor tentang SCB, kecuali dalam buku gugatan Nurel ini. Kalaupun ada mungkin desas desus sambil lalu, seperti cibiran kecil, tatkala SCB memutuskan untuk menerima hadiah 150 juta saat dinobatkan sebagai salah satu peraih Bakrie Award 2008.
Buku “ Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bahri” merupakan tanggapan atas esai SCB yang berjudul “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, yang disampaikan sebagai orasi budaya dalam acara Pekan Presiden Penyair, di TIM, tahun 2007 silam.
Saya sendiri mencoba menelisik, namun semenjak esai itu dilahirkan, disuarakan sebagai orasi, bahkan dimuat di beberapa sumber berita, tidak saya temukan jejak tertulis, tanggapan kritis atas pernyataan SCB (atau mungkin karena pembacaan saya yang tidak purna). Ada baiknya saya kutip kembali pernyataan SCB untuk sama-sama kita cermati:
“Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya—secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”
Alkisah, Sang Jala Suta gelisah setelah membaca esai penyair pujannya itu. (saya membayangkan, malam itu mungkin ia tidak bisa tidur, menghisap dalam berbatang-batang rokok, menenggak bergelas-gelas kopi kental. Sebagaimana ia terseret ujaran yang diugeminya :
“Meski saya tidak rajin ibadah, melakukan dosa, jangan sekali-kali menghina agama saya, Tuhan saya, Nabi saya, keyakinan saya.”
Saya membayangkan betapa gelisahnya dia, selaksa demonstran menggedor-gedor pintu tebal penguasa. Alam pikirnya berkecamuk antara dirinya penyair, dirinya pengagum SCB, dirinya santri, dirinya manusia pengelana. Dimana dia akhirnya dengan tegas menuturkan dan menggugat:
“Penyair bukanlah turunan pokok ruhani, apalagi jasadiah para nabi. Yang jelas, ia mencintai bahasa setulus-tulusnya dan siap bertanggung jawab atas setiap perbuatan (kata-katanya) juga kisaran hayat seperti para insan yang mempertanggungjawabkan kepada sesama serta Tuhan Yang Esa, di kala dimintai pertanggungjawaban.”
Saya kira pemberontakan kawah pikirnya berhenti disitu, namun tidak, ia lanjutkan gugatannya lebih tajam:
…“Kekeliruan” penyair zaman dulu sampai sekarang, watak ugal-ugalannya karena merasa sudah sangat serius melakoni hayat bersastra dengan seluruh jiwa raga. Kesuntukan itu menggodanya meloloskan diri dari tanggung jawab dengan memanfaatkan ayat-ayat, nilai, dan corak lelaku sedurungnya, sehingga abai pada ikhtiar kehidupan.”

Begitulah Nurel, sang penulis pemberontak, mengudarasa sumbatan-sumbatan yang mengganjal di benaknya.
Menggugat pernyataan Sang Presiden Penyair, dengan kalimat pamungkas:
“Akhirnya, kukira surat Asy Syuara bukanlah bentuk penghormatan kepada para penyair, melainkan titel tersebut tak lebih sebagai hardikan serupa yang ada pada Surat Al Lahab.”

Adegan IV :
Suara angin, lalu sepi….
Buku Nurel tersebut, adalah tanggapan yang kritis atas sikap kepenyairan Sutardji. Adalah sikap pemberontak yang tak bisa tinggal diam. Tidak salah jika M.D Atmaja, eman terhadap nama Nurel yang semakin mewarna jagat sastra. Karena menggugat Sutardji, ibarat menggugat mitos, menggedor tembok raksasa. Disini, nama dan kepenyairan Nurel dipertaruhkan juga.
Namun, usai buku diluncurkan, bahkan sebelumnya secara bertahap sudah diposting di situs internet, saya belum mendengar riuh-tanggapan. Yang ada hanya dialog abu-abu. Kata-kata yang samar, lalu suara angin, lalu sepi..
Saat sepi itu, saya teringat kembali Jala Suta, yang memberontak, yang menggugat, sebagai siasat untuk menghormati Sang Presiden Penyair.

*) Secarik pengantar bedah buku: “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bahri”, Kumpulan Esai Karya Nurel Javissyarqi, Terbitan PUstaka puJAangga dan SastraNESIA, Mei 2011.

dari: http://sastra-indonesia.com/2011/05/membaca-nurel-membaca-sutardji/

SAFARI SASTRA I: AHAD, 22 MEI 2011

NUREL JAVISSYARQI MENGGUGAT SUTARDJI


Posted by PuJa on May 23, 2011

Chamim Kohari **)

”Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang dungu.
Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata,
dan mereka suka mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan, kecuali mereka yang beriman,
beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika dizalimi”.
(Terjemahan QS. Asysyu’araa: 224-227)

Membaca tulisan Nurel Javissyarqi yang berjudul "Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri", yang dibukukan oleh penerbit sastraNESIA & PUstaka puJAngga, tahun 2011, seakan-akan menyentak dan menyadarkan kepada siapa pun yang menggeluti dalam bidang puisi dan kepenyairan. Semangat Nurel sangat bergeni-geni, ia seperti —pinjam istilah Maman S. Mahayana— telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya untung ia seorang santri yang mambu seniman, atau seorang seniman yang mambu santri, sehingga apa yang ia paparkan masih terkendali. Dalam tulisan Nurel Javissyarqi tersebut sangat tampak semangat Watawaa Shauu bi al-Haqi Watawaa Shauu bi al-Shabri (saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran).

Pada tulisan I, Nurel mengungkapkan bahwa biangkerok dari "Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri", berawal dari esai Sutardji Calzoum Bachri bertitel "Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair"; orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007. Dalam Tulisan itu Tardji menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut: “Peran penyair menjadi unik, karena —sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dengan pernyataan Tardji seperti itu Nurel terhenyak, matanya ngedim, giginya gemerutuk, meski sehari ia hanya shalat 5 kali, ia menjadi sangat tidak terima ketika Tardji mengatakan Tuhan bermimpi, berimajinasi, Tardji menyamakan kedudukan Tuhan dengan penyair, tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, pada hal Allah berfirman Faman ya’mal mitsqaala dzaarratin khairan yarahu Waman ya’mal mitsqaala dzaarratin syarran yarahu.

Penyair adalah manusia biasa, juga Tardji, ia bukan Rasul bukan nabi, ia tidak lebih baik derajatnya dari tukang sol sepatu, ia makhluq (yang dicipta) seakan-akan menyamakan kedudukannya dengan Al-Khaliq (Maha Pencipta) sehingga dengan gegabah menyatakan sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Allah sebagai Al-Khaliq (Maha Pencipta). Kata Khaliq berasal dari kata kerja khalaqa, yang dalam kamus Al-Ashri kata khalaqa berarti “menciptakan”, “membuat orisinil”, “memproduksi” berbeda dengan kata Ja’ala yang berarti “membuat” walau bisa juga diartikan “mencipta”, tetapi kata khalaqa lebih cenderung pada makna “mencipta” dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, sedang kata ja’ala bermakna “membuat” dari yang sebelumnya sudah ada menjadi ada dalam bentuk yang lain. Sementara makhluq termasuk kata benda penderita (isim maf’ul) yang berarti “yang dibuat” atau “dicipta.”

Dalam tulisan II, Nurel mengungkapkan bahwa “Andai pun Tardji mengambil dari mana saja pemikiran Ibnu Arabi, tidaklah patut merombak dan membentuknya menjelma pengertian lain, yang lalu lebih menekankan imajinasinya. Pada hal dalam karya Ibnu Arabi, tidaklah ada yang merujuk ke imajinasi, tetapi emanasi.” Ibnu Arabi beranggapan bahwa Tuhan sebagai esensi mutlak, tidak mungkin dikenal atau bagaimana mungkin disebut Tuhan, kalau tidak ada yang menuhankan-Nya, Ibnu Arabi mengambil dasar Hadits Qudsi yang artinya “Aku adalah khasanah yang tersembunyi, Aku ingin agar Aku dikenal, maka Aku ciptakan dunia”.

Dalam tulisan III, Nurel mengungkapkan bahwa bagaimana kredo Tardji membebaskan kata-kata dari penjajahan pengertian, dari beban idea, membiarkan kata-kata menentukan dirinya sendiri, menulis puisi bagi Tardji adalah mengembalikan kata kepada mantera, pada hal menurut Nurel mantera sangat sarat dengan makna, karena dari maknanyalah daya suara menembus segala yang dikehendaki. Sementara pada buku himpunan kertas kerja seminar internasional dan sejumlah esai tentang Tardji, bertitel Raja Mantra Presiden Penyair terbitan Yayasan Panggung Melayu, 2007, tampak judul yang sangar, hebat, memabukkan dan tiada tanding, oleh karena itu Nurel menjadi semakin geli.

Dalam tulisan IV, Nurel mengungkap proses lahirnya sumpah pemuda (1928), yang sebelumnya (tahun 1920-an) ada gerakan Renaissance Indonesia dengan gerakan Pemuda Indonesia, juga diuraikan tentang kondisi manusia Indonesia sampai kini masih percaya pada lambang-lambang, semboyan-semboyan, jimat, mantra dan jampe-jampe. Nurel juga mengungkap bagaimana para sastrawan yang tidak takut jeruji penjara, kelaparan keluarganya, juga keberaniannya yang mengundang inspirasi manusia di sekitar dan penerusnya seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra dan seterusnya. Mereka bertanggungjawab atas laku nasib dan karya-karyanya.

Tulisan Nurel V mengungkap bagaimana mantra berkembang, mulai dari yang mengadopsi nilai ajaran Islam sampai mantra-mantra yang berdaya ruhani rendah, yang paras auranya merah, mudah dipelajari karena menghamba pada jin atau bentuk-bentuk penyimpangan ajaran murni yang sengaja dirombak demi pamor berbalik, yang biasanya dipakai para dukun. Terus apa jadinya jika Sutardji dalam mantra-mantranya memutar balik bahasa sekenanya hingga makna jungkir balik tidak punya kandungan isi dan tidak bertuah. Coba simak sajaknya yang berjudul Shang Hai berikut:

SHANG HAI

ping diatas pong
pong diatas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak, 1973)

Dalam puisi tersebut hanya tampak terkesan seperti bermaian kata-kata atau bahasa. Dengan demikinan, menurut Nurel perlu dipertanyakan, apakah kredonya Tardji tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliyah?

Pada akhir tulisannya, Nurel menegaskan “sejauh ini, Tardji memang kreatif mengurai bunyi-bunyian disusupkan ke irama puisinya juga menggali energi vocal mau pun konsonan demi puisinya laksana mantra, tetapi sampai 30 tahun lebih, ia belum terbukti berhasil mentransfer kekuatan mantra ke dalam puisi mantranya. Ia tidak cukup sakti sebagai Raja Mantra”.

Jerukmacan, 21 Mei 2011

Seni itu panjang
Hidup itu pendek
Agama itu dalam

*) Disampaikan pada acara Bedah buku dalam Safari Sastra yang diselenggarakan oleh Sanggar Belajar Bareng GubugLiat Jombang, pada hari Ahad, 22 Mei 2011 di Aula SMA Muhammadiyah 1 Jombang.
**) Aktifis Komunitas Sastrawan Pesantren Jawa Timur, kini menetap di Pondok Pesantren Darul Falah Jerukmacan, Sawo Jetis, Mojokerto, HP 081931091965. E-mail: www.ppdf@yahoo.co.id