SANGGAR BELAJAR BARENG

Bilik Sastra
Bilik Musik
Bilik Teater
Bilik Wirausaha

Minggu, 21 November 2010

Cerita Pendek (20-10-2010)

Perempuan Matahari

Jika diibaratkan matahari sebagai lampu, maka ia akan menyinari tiap lekuk gelap yang menyelinap di sela-sela pelipit. Entah itu ruang entah itu badan. Sebab matahari adalah cahaya mahacahaya yang menyinari setiap yang pekat dan yang kelam.
Di pagi beku pun, terlihat lelehan embun berjingkat menjadi butiran air hangat ketika diterpa sang matahari. Ia membikin lumer apa yang disentuhnya dan memberi rasa panas bagi yang dingin. Tak ‘kan pernah habis sinarnya walaupun pada Hari Akhir nanti!
Dalam pada itu, matahari menjelma menjadi perempuan yang meneduhkan tiap insan. Perempuan bersahaja tanpa hirau suasana yang tak bersahabat. Ia adalah matahari itu, memberi faedah bagi siapa yang membutuhkannya. Tak peduli kawan tak peduli lawan. Baginya, menjadi pelita adalah tugasnya, dan secuil pun ia tak mengeluh.
Peraupannya secerah kakak sang pagi. Lembut namun membara menunjukkan sengat keranuman sang hawa. Teduh sinarnya menyiratkan kelembutan kasih-sayang yang diberikan tanpa pandang makhluk. Tak ada tabir di balik itu semua. Ia adalah pelita, pemberi jalan untuk merasakan betapa berat menjalani kehidupan tanpa seberkas pun cahaya penerang.
*****
Sering aku berpikir, sebesar itukah perempuan berkorban. Tanpa melihat bahwa ia hanyalah sebagian tulang rusuk sang adam ketika dicomot Tuhan sewaktu di surga sana. Ia tak peduli dengan kondisi dirinya. Ia tak peduli dengan “harga diri”nya. Baginya, pemenuhan kebutuhan hidup dan keluarganya adalah prioritas meskipun setiap hari harus ditimpa cahaya yang lebih besar darinya.
Tak pandang asap-asap protokol lampu merah yang kian menyedak pernafasannya. Gas buangan knalpot itu hanya dianggap kasturi yang dihidangkan setiap pagi hingga menjelang lohor. Kandungan CO2 dan gas beracun lainnya hanyalah sekelumit hiruk-pikuk kehidupan ketika di akhirat sana. Betapa ia menikmati tiap hirupan itu!
Satu, dua, tiga pengendara menghampiri. Merogoh kantong rupiah mereka untuk menikmati kabar terhangat yang terjadi di bangsa ini. Kenaikan harga sembako, teroris yang kian rapi dalam beroperasi dan menjalankan modus aksinya, BBM yang dikurangi subsidinya, bahkan dana BOS pun segera disilap (itu akal-akalan pemerintah untuk menghapus dana “cuma-cuma” itu bagi sekolah dasar dan menengah pertama). Semua kabar itu mereka nikmati sembari menenggak hangat kopi atau teh yang terhidang di meja makan bersama sang istri tercinta (sungguh nikmat kehidupan seperti itu!)
Tak seperti halnya ia. Ba’da subuh, ia harus berangkat menuju sang agen warta untuk dijajakan di sepanjang jalan KH. Wachid Hasyim. Belum sempat menikmati sarapan ala pembaca suratkabar tadi _apalagi sekedar menyuguhkan makan pagi untuk anak-anaknya yang hendak berangkat sekolah_ ia harus mengejar para pembeli, sebab semakin siang sebuah berita menjadi basi (itu pikir mereka: para pembeli tadi!). Seringkali anak-anaknya hanya ia sisipi selembar uang seribu di saku baju sekolah mereka ketika tengah tidur. Setidak-tidaknya itu yang bisa ia berikan untuk melihat semangat anak-anaknya saat bersekolah.
Selepas mengambil jatah koran yang akan dijual, ia berkibar-kibar di sepanjang jalan itu, berteriak-teriak agar koran hari itu laku terjual, dan uang yang diperoleh tidak seberapa itu (setelah dipotong si agen tadi) ia belanjakan untuk mengisi perut hari ini. Beras (itu pun kalau sedang tidak harga naik), seiris tempe, seikat kangkung (itu pun tidak seikat penuh), dan sisanya untuk uang saku anak-anaknya esok hari. Begitu terus yang ia lakukan. Kehidupan yang statis dengan pemasukan yang konstan pula merupakan putaran dadu nasib yang menjadi lahapan sehari-hari. Namun, ia tak menyadari akibat sering menghirup asap-asap kendaraan tersebut akan menjadi penyakit di kemudian hari (itu pula belum masuk dalam anggaran biaya tadi, yakni biaya kesehatan!)
Keterharuannya memicingkan orang-orang di sekitarnya. Tak peduli berat pikul tanggung jawab yang dibebankan di atas pundak rapuhnya. Sepasang mata menirus bermetamorfosa bak laguna ditinggal payaunya. Sekelebat hina-dina menjadi pancaran kekuatan menghempas lalim mereka. Ia jawab dengan peluh bergemuruh menghantam cucuran cuaca yang mahapanas.
*****
Sempat kuberpikir, kenapa harus ia _perempuan itu_ yang menjual koran di tepi jalan, menantang panas juga silau asap-asap motor dan mobil yang lalu-lalang? Sekuat itukah fisik sang perempuan? Sekuat itukah ia memanggul berton-ton beban keluarganya? Sekuat itukah roda hidup yang harus ditanggungnya demi singkat kehidupan yang diberikan-Nya?
Sungguh, aku tak mengerti bagaimana menyelami hati dan pikiran perempuan. Aku seperti orang yang linglung, tak tahu caranya mendefinisikan mereka. Terkadang aku senang dengan mereka karena akan menambah semangat dan spirit dalam hidupku (pikiran bocah ingusan selalu seperti itu). Namun, terkadang juga aku sedih dengan mereka yang dirundung kemalangan dan kesengsaraan yang tak tahu jeluntrungnya. Aku paling tidak tega melihat perempuan bersedih, apalagi sampai menitikkan air mata. Kepiluan mereka sangat aku rasakan seolah aku sudah menyatu dengan mereka. Aku seolah berada pada satu persimpangan yang tak bisa kujelaskan dengan berbagai bahasa pun. Tangis mereka adalah isyarat keguncangan bumi yang tiada berhenti. Gunung-gunung menumpahkan amarahnya, laut dan samudra meluapkan kebenciannya, dan pohon-pohon pun menumbangkan kebajikan yang telah mengakar kuat dalam rahim dunianya; dunia perempuan.
Akan tetapi, aku juga paling tidak berkenan ketika seorang perempuan itu kurang ajar dan tidak berperikemanusiaan. Yakni, perempuan yang tidak menghargai kodratnya sebagai perempuan. Perempuan yang terlalu mendewakan kuasanya atas segala sesuatu yang ada dalam hidupnya. Perempuan yang terlalu mengumbar keperempuanannya di hadapan publik. Perempuan seperti itu seolah tidak menyadari dan mensyukuri apa yang telah dilimpahkan Tuhan terhadapnya. Mereka adalah simbol kelaknatan yang tak akan dimaafkan oleh tujuh langit, tujuh bumi, dan tujuh samudra.
Juga, perempuan yang tak pernah menyayangi sesamanya, lingkungannya, keadaannya, bahkan takdirnya. Mereka adalah makhluk yang nista. Bahkan, seekor amuba pun enggan menerima jasadnya ketika mereka meninggal. Perempuan seperti ini adalah model perempuan yang tak memiliki bentuk cinta dan kasih-sayang dalam dirinya. Tak menghargai segala sesuatu yang ada dihidupnya. Perempuan yang tak ada se-zarrah pun kebajikan yang tertanam dihatinya. Sungguh, terlaknatlah hidup mereka dunia akhirat!
Aku hanya memandangnya dari jauh, melingkari secawan teh yang kuseduh bersama kawan-kawan kuliahku. Aku tak bisa membayangkan, teh hangat yang kuminum ini sama harganya dengan satu koran yang berhasil dijualnya. Betapa kehidupan berbalik 360ยบ antara jarakku saat ini dengan perempuan itu. Cuma 10 meter antara aku dengan ia, dan itu memutar roda takdir yang terlampau jauh. Aku berkaca, bentuk syukur apa yang tidak kulakukan sepanjang hayatku? Bagaimana aku mengemas rasa syukurku dalam rajut perca sang perempuan matahari itu?
Bisa kulihat, peraupan wajahnya menampakkan bahwa ia sudah baya. Sekitar tigapuluh tahunan lah. Ia bersuami sejak berusia enambelas tahun. Bisa dibayangkan berapa jumlah anaknya. Tak kurang dari enam orang. Sedang suaminya merantau entah kemana meninggalkan perempuan itu sendiri merawat keenam anaknya yang masih kecil-kecil (umur mereka pun hanya terpaut satu tahun satu sama lain!).
Entahlah, kenapa aku bisa melihat kehidupan seseorang dan keluarganya hanya dari raut wajahnya!
Anak tertua kelas lima SD (tentu saja bisa sekolah karena sekolah sekarang “gratis”). Yang kedua kelas empat SD (begitu pula di bawahnya, sampai yang paling bungsu baru masuk TK [itu pun karena belas-kasih para tetangga yang tak tega melihat semua anak perempuan itu bersekolah]). Bagaimana mungkin ia mampu membiayai dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya?!
Teh yang kuseruput tak menampilkan rasa manis di ujung-ujung lidahku. Pahit terasa sebab pahit pula merasakan keterpurukan perempuan penjual koran itu. Makin kutelan makin membekas di perutku cerecak teh itu seiring berkas rona hidupnya yang pahit, membekas hingga ke pencernaanku. Aku menelan empedu pagi itu! Bagaimana mungkin penggelap uang negara miliaran rupiah itu bisa leluasa bertamasya ke Pulau Dewata sembari menonton pertandingan tenis, sedang di tengah jantung Kota Santri ini kusaksikan adegan live seorang perempuan penjaja koran di perempatan lampu merah kota sedang berjuang menjual koran dan “harga diri”nya demi sesuap nasi dan membiayai keenam anaknya? Alangkah lucunya negeri ini! (meminjam judul film garapan aktor gaek Deddy Mizwar).
*****
Bergeser pula matahari itu ke barat. Meninggalkan ufuknya berganti selaput sore yang akan menjelang. Waktu masih kisaran pukul satu siang, dan koran di rangkulan perempuan itu habis. Kali ini sang hari berpihak padanya. Kadangkala korannya tak habis walaupun berjualan hingga sore. Terlihat di cekung matanya derai-derai syukur teruntukkan buat Sang Pencipta Matahari. Tirus kemudaannya tampak memudar karena saban hari tersengat surya tiada henti, memperlihatkan bahwa umur perempuan itu lebih tua dari semestinya. Ia pun segera beranjak pulang guna merampungkan peran sebagai ibu bagi keenam anaknya yang sedang menanti di rumah.
Aku masih duduk di situ, di tempat yang sama saat kuseduh teh hangat pertama. Telah habis bergelas-gelas teh, dan telah beranjak dari tadi pula kawan-kawanku menuju kampus. Aku masih terpekur dan terhenyak menyaksikan realitas kisah hidup di deras arus modernisasi kota kecil ini. Aku memikirkan, seandainya itu orang-orang terdekatku bahkan saudaraku? Bukankah hanya tangis dan ratap tak henti-henti yang kuluncurkan tiap hari di sela-sela dua mataku? Apa dengan berlaku seperti itu akan merubah kehidupanku?!
Dan pengembaraan panjang lamunanku membuat cepat begitu saja peristiwa itu terjadi. Banyak orang berkerumun di tengah jalan. Sebagian yang lain sedang menghakimi pengendara Avanza berplat merah. Kutaksir pengendaranya adalah seorang pejabat pemda setempat. Jalan tersebut macet. Entah aku masih melamun atau hanya fatamorgana, darah bermuntah dimana-mana. Apa gerangan sedang terjadi?
Orang-orang sibuk. Ada yang beristighfar, ada yang memaki-maki, ada yang diam saja, dan ada pula yang tertawa (entah menertawakan apa). Aku bingung, darah siapakah itu? Kenapa bisa tercecer di jalan raya? Pertanyaan itu begitu saja berkelebat di pikiranku.
Kuterabas kerumunan tersebut. Aku terkejut. Langit mendung, hilang pancaran cahaya sang matahari. Hari gerhana. Matahari hilang. Gelap menggelayuti. Dan keterjutanku tak urung-rampung. Perempuan itu... perempuan matahari itu... .
*****



didedikasikan untuk:
Perempuan penjual koran di perempatan lampu merah
Jalan KH. Wachid Hasyim Jombang





Tentang Penulis

Muh. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang, 24 Mei 1988
Mengenyam pendidikan di Ponpes Langitan Widang Tuban;
Ponpes Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono Nganjuk;
dan Bumi Damai Al-Muhibbin Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa semester VII
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang,
serta mengemban amanat sebagai Lurah HMP Bahtra Indonesia 2010-2011.
Buku antologi bersamanya Sajak-sajak Lentera Kejujuran (Bahtramedia Press, 2010)
dan Sajak Kupu-kupu (PUstaka puJAngga, 2010).
Sedang mempersiapkan buku antologi puisi tunggalnya, Puisi Tak Bernyawa dan Sajak Bertuah. Serta novel Cerita Cinta Anak Remaja dan Dari Langit ke Bumi.
Kini bergiat di komunitas GubugLiat. Pengelola RumahMerangkaiKata.blogspot.com


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar