SANGGAR BELAJAR BARENG

Bilik Sastra
Bilik Musik
Bilik Teater
Bilik Wirausaha

Minggu, 21 November 2010

Cerita Pendek II (20-10-2010)

Layang Buat Emak


Selasa, 01-04-2008

Teiring puji syukur kehadirat Allah, Robbi yang telah melimpahkan segala karunia yang tiada terkira kepada hamba-Nya sehingga dengan nikmat itulah terlayangkan kembali sepucuk layang ini sebagai wujud pemberian dari-Nya.
Alhamdulillah, bagaimana kabar Emak? Semoga Tuhan selalu menaungi Emak dengan segala Rahman Rahim-Nya. Kiranya tak kurang suatu apapun dalam kegiatan dan rutinitas sehari-hari. Saya juga baik, keluarga di rumah juga. Setidaknya dalam kegiatan seperti biasa. Tak lebih, karena penjelasan lebih rinci mengenai mereka akan membuat terlalu panjang hal-hal yang ingin saya utarakan. Terlepas dari itu semua maka hal yang paling terbaik adalah tetap ikhtiar dan tawakal pada-Nya.
Ya, melanjutkan layang pertama saya, sebenarnya saya ingin komplain kepada Emak, mengadukan perihal yang saya alami saat ini. Saya pelik, tak ubahnya musafir yang kehilangan arah. Bagaimana tidak, ketika saya mengalami masalah ini banyak orang yang hanya diam pada saya. Sepertinya tak ada masalah serius yang saya alami. Mereka menganggap ini hanyalah masalah biasa, padahal bila diamati dengan serius maka akan berdampak serius pada nasib saya selanjutnya. Bahkan, orangtua yang saya percayai yang saya bisa harapkan bantuannya malah melemparkan masalah ini kepada orang lain. Apa itu tidak menyakitkan hati saya?
Saya sudah berusaha sebisa mungkin, bila mentok maka akan saya kembalikan pada orangtua saya. Pada kenyataannya, bantuan yang saya nantikan tak kunjung datang, yang ada hanyalah sebuah pernyataan agar minta bantuan kepada orang lain. Lalu, dimanakah letak bentuk belas kasih orangtua terhadap anaknya? Apakah wajar bila seorang anak meminta belas kasih kepada orang lain, padahal orang tuanya masih ada. Apakah Cuma “mengemis-ngemis” jalan keluar untuk mendapat secuil bantuan itu? Saya tak mengerti apa yang sebenarnya yang diinginkan orang tua saya. Padahal, beliau sendiri agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh agar kelak menjadi orang yang sukses dan berhasil, minimal tak seperti orang tuanya. Namun bila tak diiringi oleh tindakan, apakah keinginan dan harapan itu bisa terwujud? Lalu, bentuk bantuan yang bagaimana agar dapat mencapai itu semua?
Sepertinya saya sudah mulai pusing dihantui masalah ini, masalah lain belum selesai harus di tambah masalah lagi. Memang, hidup itu penuh dengan masalah. Jika tidak punya masalah berarti tidak hidup. Wong yang mati saja masih punya masalah, kok?! Saya tidak mengerti bagaimana caranya buat meyakinkan Emak tentang masalah saya ini. Sudah terlalu banyak masalah yang harus saya selesaikan dari sekian banyak masalah yang saya alami. Tak ada yang bisa memahami bagaimana saya saat ini. Terlalu lama saya memendamnya, bahkan hampir-hampir saya bisa gila dibuatnya. Apa Emak tak merasakan apa yang saat ini saya rasakan?
Kalau tidak salah, tanggal dua Juni sudah diadakan mid semester, dan itu merupakan salah satu bagian dari kegiatan rutin kampus yang tak bisa dipungkiri. Setidak-tidaknya sebagai evaluasi paruh semester ini. Segala hal yang berhubungan dengan perkuliahan telah saya lakukan. Mulai dari kuliah harian, diskusi, sharing dengan dosen pembimbing, telaah mata kuliah, pembuatan tugas dan makalah, debat dan tanya jawab dalam diskusi dan kuliah. Semua telah saya lakukan untuk mendapatkan nilai yang kumulatif agar IP saya akhir semester kedua nanti bisa lebih baik lagi daripada semester pertama. Namun, ada suatu hal yang membuat saya risau, yang membuat saya pesimitis untuk bisa mengikuti mid semester dan semester/UAS nanti. Ya, sebuah masalah klasik yang membuat Lintang (tokoh dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata) tidak bisa melanjutkan sekolahnya lagi walaupun dia memiliki otak secerdas Albert Einstein (ilmuwan Fisika dunia tercerdas dimasanya). Benar, masalah klasik itu adalah biaya!
Saya sadar, masalah klasik itulah yang membuat anak-anak di Indonesia ini yang bernasib sama dengan Lintang tak bisa mewujudkan cita-citanya, bahkan untuk sekedar melanjutkan sekolah lagi pun tidak bisa. Memang, sepertinya sudah Sunnatullah! Anak-anak yang dikaruniai Tuhan otak yang cerdas selalu saja berasal dari golongan yang tak berpunya (baca: miskin). Dan untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya, orang tuanya tak ayal mereka harus bekerja keras untuk mewujudkan (baca: kerja sambilan setelah sekolah). Sedangkan, anak-anak yang dikaruniai otak pas-pasan dan berpikiran lambat selalu berasal dari keluarga yang mampu dari segi fisik, psikis, dan materi. Pokoknya serba kecukupan! Mereka hanya dituntut untuk sekolah dan belajar, tak perlu memikirkan hal yang lain. Namun ternyata mereka ogah-ogahan bahkan malas-malasan untuk melakukannya padahal hidup mereka sudah terpenuhi, ingin sesuatu tinggal minta tanpa susah payah kerja keras. Coba bandingkan dengan anak-anak miskin di atas yang hampir seluruh waktunya habis hanya untuk mencari penghasilan demi melanjutkan studinya tersebut! Tak jarang mereka mencuri-curi waktu disela kerjanya untuk belajar, mengerjakan tugas, bahkan membantu keluarganya. Ah…. Sunnatullah!
Lalu saya berpikir, benarkah ini adalah sunnatullah? Kenapa harus begini jalan hidup di dunia ini? Inikah keadilan Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya? Dimanakah letak Rahman Rahim-Nya kepada umat-Nya? Haruskah begini “sandiwara dunia” ini? Lihat saja sekarang, banyak orang bodoh dan kaya yang dengan kekayaannya itu dapat membeli semua yang mereka inginkan, dapat memenuhi segala kebutuhannya dan hajat hidupnya tercukupi. Mereka seolah-olah “penguasa” dunia ini. Bandingkan dengan orang cerdas yang miskin yang harus terlunta-lunta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan tak jarang dari mereka diperbudak oleh kekayaan orang bodoh yang kaya tadi. Mereka melakukan apa saja asal bisa mendapatkan sepercik kekayaan orang tersebut, bahkan keimanan dan harga diri rela mereka gadaikan. Mereka seolah “pengemis” yang tak bisa berbuat apa-apa dengan kecerdasannya itu! Ya, mungkin seperti itulah posisi saya saat ini, tak bisa berbuat banyak dengan kelebihan yang saya miliki.
Mengapa saya bercerita begini pada Emak? Mengapa saya memberikan gambaran dan contoh seperti kepada Emak? Asal Emak tahu, saya tak lebih dari “pungguk merindukan bulan”. Apa Emak sadar bahwa kerja sambilan saya, yang berangkat sehabis Subuh pulang waktu Dluhur, lalu habis Dluhur kuliah sampai Maghrib dan tiba di rumah mau Isya’, bahkan kalau libur kuliah saya membantu menjaga kios untuk menambah uang saku. Semua itu saya lakukan setiap hari tanpa kenal liburan. Demi apa? Hanya demi memenuhi transport saya saja dan membayar SPP setengah bulan saja? Apa memang Emak tahu kalau kerja sambilan dan menjaga kios hanya mendapatkan bayaran tak sampai yang diinginkan?
1. Coba Emak hitung, anggap saja gaji saya Rp 200.000
2. Lalu, transport saya setiap hari Rp 5000 x 30 hari = Rp 150 ribu
3. Sisa yang saya dapatkan hanya Rp 50.000
4. Padahal SPP bulanan saya Rp 100.000
5. Lalu, dari mana saya bisa mendapatkan Rp 50.000 lagi untuk bisa memenuhi Rp 100.000?
6. Secara otomatis saya tidak bisa jajan atau sarapan atau makan karena bayaran saya sudah mentok segitu. Saya juga tidak bisa bolak-balik pulang hanya untuk makan karena itu akan menambah uang transport lagi. Apa Emak tahu, bagaimana kerja dalam keadaan lapar? Sampai-sampai waktu kuliah pun saya sering tidak konsentrasi menerima pelajaran karena ngantuk, kecapekan, dan lapar. Kurang bagaimana lagi yang harus saya lakukan untuk dapat menyelesaikan itu semua?!
*****
Padahal ini baru semester kedua. Entah bagaimana semester-semester yang akan datang, yang tentunya akan semakin parah dari semester ini. Kalau bagini terus, kalau statis seperti ini, kapan saya akan maju? Dihitung secara kasar seperti di atas saja sudah ada yang minus atau kurang. Bagaimana kalau ada kebutuhan lain yang mendesak seperti pengetikan makalah, photo copy buku atau bahan kuliah, kegiatan kampus, dan pembayaran mid semester dan semester/UAS? Rasanya mesti saya harus cari lagi penghasilan lain untuk memenuhi itu semua. Tapi, mampukah saya dari segi psikis dan fisik, sebab manusia bukanlah robot yang selalu kerja, kerja tanpa istirahat?!
Memang, kita tidak bisa mendahului takdir. Mengetahuinya saja kita tidak bisa. Semuanya penuh misteri dan rahasia. Kita tidak tahu apa yang akan kita lakukan esok hari, lusa, dan seterusnya, sebab hidup adalah hari ini, bukan kemarin! Namun, kenyataan tidak bisa kita pungkiri. Kenyataan adalah apa yang kita hadapi saat ini. Kita hidup dalam kenyataan, bukan dari mimpi, khayalan, imajinasi, angan-angan, masa lalu, atau masa depan. Kenyataan yang sebenarnya ada di depan kita, bukan untuk dihindari tetapi untuk di hadapi. Kita yang takut akan kenyataan lebih baik mati saja daripada hidup selalu dihantui oleh kenyataan. Baik maupun buruk, semuanya telah ditetapkan di lauhul mahfudh sana. Kita mesti menjalani dan memperbaikinya, sebab Tuhan tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu tidak merubah dirinya sendiri! Namun, Emak... kita tidak bisa menjalani kenyataan tanpa adanya faktor-faktor yang mendukungnya. Seperti saya sekarang ini, saya tidak bisa menjalani kehidupan saya tanpa adanya hal-hal yang mendukung saya. Saat ini, setiap detik, adalah hidup saya yang mesti saya jalani. Entah itu lancar atau penuh halangan, bagi saya tidak masalah. Hanya saja keinginan dan cita-cita saya itu mesti saya raih untuk memperbaiki kehidupan saya nantinya, sebab saya tidak ingin hidup seperti ini lagi nantinya! Saya ingin berubah! Dan, Emak adalah penentu kehidupan saya. Saya tidak mungkin ada tanpanya Emak. Saya tak mungkin hidup tanpa Emak. Saya tidak mungkin seperti ini tanpa Emak pula. Saya ingin Emak mengerti bagaimana peliknya saya. Saya ingin Emak membantu dari segi moril dan materil. Saya ingin Emak, sebab saya bagian dari Emak.
Emak...
Durhakalah aku, jika hidupku tak ada dirimu.
Emak...
Durhakakah aku, jika hidupku tak ada ridhomu?
Emak...
Berdosakah aku, jika hidupku tak kutemui suci kasihmu?
*****
Emak... waktu Emak kirim uang bulan Maret kemarin, saya sudah bilang sama Mbak Iik kalau saya butuh uang buat bayar daftar ulang atau registrasi tiap semester. Saya tahu kalau saya minta uang terlalu banyak, sebab bayaran pertama waktu itu hanya cukup membayar separuh dari yang akan saya bayarkan. Akhirnya saya minta Rp 100.000 saja karena sisanya dipakai buat belanja kebutuhan sehari-hari, buat Arifin dan Fatimah, dan bayar hutang. Sampai sekarang pun saya belum bisa bayar lagi. Sebab harus nyelengi lagi dan nunggu kiriman dari Emak. Uang saya sendiri sudah saya pakai buat kebutuhan mendesak. Seperti yang telah disebutkan. Tapi sepertinya Mbak Iik berkelit. Mungkin uang kiriman bulan April sudah dia pakai buat tambahan mbangun rumahnya soalnya dia selalu tak rela bagian dari jatah saya ambil. Seharusnya, uang kiriman itu buat Fatimah, Arifin, saya dan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk dia sendiri. Keterlaluan! Makanya, saya mohon dengan amat sangat sama Emak, mulai bulan Mei Emak bagi tiga (saya, Fatimah, keperluan sehari-hari) masing-masing Rp150.000, sebab dengan begitu jatahnya jelas, adil, tak ada yang tercurangi, dan diangkangi sendiri sama Mbak Iik karena saya sudah tidak lagi percaya sama dia. Begitu!
Kiranya, begitulah saran saya dan sampai di sini unek-unek yang saya sampaikan. Masih banyak hal yang ingin saya utarakan namun terbatas oleh ruang dan waktu. Maafkan bila saya telah menyakiti Emak. Restu dan doa Emak selalu saya harapkan.
Salam,
Anakmu yang tak tahu diuntung.
*****


Tentang Penulis

Muh. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang, 24 Mei 1988
Mengenyam pendidikan di Ponpes Langitan Widang Tuban;
Ponpes Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono Nganjuk;
dan Bumi Damai Al-Muhibbin Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa semester VII
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang,
serta mengemban amanat sebagai Lurah HMP Bahtra Indonesia 2010-2011.
Buku antologi bersamanya Sajak-sajak Lentera Kejujuran (Bahtramedia Press, 2010)
dan Sajak Kupu-kupu (PUstaka puJAngga, 2010).
Sedang mempersiapkan buku antologi puisi tunggalnya, Puisi Tak Bernyawa dan Sajak Bertuah. Serta novel Cerita Cinta Anak Remaja dan Dari Langit ke Bumi.
Kini bergiat di komunitas GubugLiat. Pengelola RumahMerangkaiKata.blogspot.com


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar