SANGGAR BELAJAR BARENG

Bilik Sastra
Bilik Musik
Bilik Teater
Bilik Wirausaha

Minggu, 21 November 2010

Cerita Pendek III (20-10-2010)

Baju Baru Bayu

“Pokoknya aku mau baju baru!”
Begitulah yang selalu dikatakan oleh Bayu usai berbuka puasa. Keinginannya untuk memiliki baju baru pada hari raya nanti begitu menggebu-gebu, sehingga tiap kali ada kesempatan berbicara dengan ibunya maka yang dia minta adalah baju baru.
“Tapi, Bayu, Ibu masih belum bisa memenuhi keinginanmu itu. Apalagi harga-harga sembako sekarang lagi pada naik mendekati hari raya. Gula misalnya, sekarang sudah dua kali lipat dari harga normal pada hari-hari biasa. Dan, Ibu harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan untuk membelikanmu baju baru,” kata Ibu Bayu suatu hari ketika untuk kesekian kalinya Bayu merengek minta baju.
“Bu, Bayu pengen baju baru. Apa jadinya kalau hari raya tanpa baju baru? Apa Ibu tega melihat anaknya sendiri nggak memakai baju baru pada hari raya nanti?”
“Kamu ‘kan sudah 18 tahun. Masa masih minta dibeliin baju baru?”
“Tapi, Bu, sudah lama Ibu nggak beliin Bayu baju. Masa hari raya nanti nggak ada baju baru buat Bayu?” Rengek Bayu. “Pokoknya harus dibeliin! Kalau nggak, berarti Ibu nggak sayang sama Bayu!”
Bayu keluar dari meja makan dan masuk ke kamarnya. Dalam hati ia marah atas perkataan Ibunya itu. Alasan yang diberikan oleh Ibunya itu menurutnya tidak wajar. Masa menjelang hari raya tidak memiliki uang lebih dari THR untuk membelikannya baju? Pikir Bayu.
*****
Sebenarnya Bayu malas untuk beraktivitas pagi ini. Mau berangkat ke sekolah juga malas. Bukan karena sekolahnya jauh dari rumah, tapi ia malas karena masih tetap kepikiran tentang baju baru buat hari raya nanti. Ibunya jelas tidak akan membelikannya baju baru yang menjadi pikirannya. Maunya sih tidur-tiduran di rumah sebagai bentuk “mogok” ngapa-ngapain dan ngambek atas tindakan ibunya. Memang begitulah kalau orang yang lagi berpuasa. Ada saja godaannya!
Dengan terpaksa, akhirnya Bayu berangkat juga ke sekolah. Demi apa lagi kalau tidak demi sekolah yang tinggal sebentar lagi akan ujian semester?
Di tengah perjalanannya ke sekolah, Bayu melihat sesuatu hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang akan menggetarkan hati dan pikirannya.
Ya, ia melihat seorang anak kecil yang harusnya bersekolah malah memulung sampah-sampah plastik di trotoar. Sampah-sampah itu dipilah-pilahnya sesuai dengan jenisnya. Ada yang botol plastik, kresek bekas, dan lain sebagainya, anak itu punguti sampah tersebut dengan telatennya.
Kemudian anak itu beralih ke tempat lain yang ada kumpulan sampahnya. Pusat-pusat perbelanjaan tak luput dari pandangannya. Di kompleks perumahan warga juga menjadi tujuannya. Semuanya hanya demi memunguti sampah-sampah yang ada di bak-bak sampah tempat tersebut.
Hati dan pikiran Bayu terus memburu kejadian yang dilihatnya itu, seolah ada sesuatu yang lain yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Entah apa yang menuntun Bayu untuk mengikuti anak kecil itu. Bayu memutuskan untuk tidak bersekolah demi melihat apa yang dilakukan anak itu selanjutnya.
Sore menjelang, anak kecil pemungut sampah plastik itu pulang, dan Bayu masih terus membuntuti anak itu. Setibanya di rumah, anak kecil itu mengadu pada orang tuanya. Ia melihat banyak baju bagus yang dijual di pertokoan yang dilewatinya tadi siang. Baju-baju itu sangat ingin dimilikinya.
“Pak, kapan Bayu dibelikan baju? Sudah lama Bayu kepingin baju baru. Bayu setiap hari Cuma pakai baju yang sama?” Tanya anak itu seusai menceritakan apa yang dilihatnya ketika memunguti sampah plastik di daerah pertokoan yang dilewatinya tadi.
Bapak anak itu hanya diam menahan getir. “Sabar ya, Bayu. Semoga Bapak dapat rejeki buat belikan kamu baju.”
Anak kecil itu hanya diam. Ia tahu kalau sampai kapanpun Bapaknya tidak akan bisa membelikannya baju baru.
Bayu tersentak. Ia seolah melihat dirinya yang lain yang hidup dalam keadaan serba kekurangan. Nama anak itu sama dengan namanya. Namun nasibnya sangat jauh dari dirinya yang berkecukupan. Rumah anak kecil itu yang kumuh, kotor, dan tidak terawat sudah memperlihatkan betapa nelangsa hidup keluarga anak itu. Pakaian compang-camping dan tubuh kurus adalah gambaran penderitaan anak kecil itu. Betapa pilu nasib yang dijalani oleh anak itu? Batin Bayu.
Bayu sadar, bahwa apa yang dikatakan Bapak anak itu hanyalah sebagai penghibur hati Bayu kecil itu. Tak lebih! Ternyata, masih ada orang yang keadaannya jauh lebih membutuhkan ketimbang dirinya. Kenyataan yang dilihatnya adalah sekelumit realita yang ada di negeri yang kata banyak orang gemah ripah loh jinawi. Tapi, mana buktinya? Mengapa masih ada orang yang hidupnya serba kekurangan dan kesusahan? Mungkin Bayu, anak kecil pemungut sampah plastik itu adalah salah satu potret anak bangsa yang hidup dalam kemelaratan. Apakah masih ada Bayu-Bayu di luar sana yang hidup lebih parah dari Bayu kecil ini? Pasti ada! Batin Bayu.
*****
Bayu masih melamun, memikirkan apa yang dilihatnya sewaktu berangkat sekolah. Bayu masih di dalam kamarnya, dan ia belum makan sesuatu pun ketika berbuka tadi. Ia tidak selera makan karena masih terbayang akan keadaan Bayu, anak kecil itu, tadi siang. Ibu Bayu makin bingung karena anaknya tidak mau keluar kamar dan berbuka bersama keluarga. Beliau merasa bersalah karena tak menuruti keinginan anaknya itu untuk dibelikan baju baru buat hari raya.
“Makan dulu, Nak. Nanti kamu bisa sakit kalau nggak makan apapun!” pinta Ibu Bayu. “Íbu janji, besok kita pergi bersama buat beli baju.”
Bayu semakin resah. Pikirannya kacau. Tapi, ada benarnya apa yang dikatakan Ibunya. Sampai kapan aku akan berpuasa, bukankah ini waktunya berbuka? Pikir Bayu.
*****
Hari ini kebetulan sudah mulai libur menjelang hari raya. Dan Ibu Bayu berencana untuk membelikan Bayu baju baru. Beliau mengajak Bayu ke mall agar Bayu dapat memilih sendiri baju yang diinginkannya. Ibu Bayu merasa anaknya kurang sehat. Seharusnya anaknya itu bersemangat ketika dibelikan baju baru. Apa yang dipikirkannya? Batin Ibu Bayu.
Di mall, Bayu memilih baju sendiri. Setelah di dapat baju yang cocok, Ibu Bayu bertanya, “apa nggak kekecilan baju itu, Bayu?”
“Nggak, Bu!” jawab Bayu singkat.
Ibu Bayu semakin tidak mengerti dengan apa yang dilakukan anaknya itu. Beliau hanya membiarkannya. Semoga Bayu tidak kenapa-napa.
Ketika pulang, di tengah perjalanannya, Bayu bertemu dengan anak kecil yang kemarin. Bayu si pemungut sampah plastik yang sedang mengais sampah plastik di depan mall itu. Kemudian tanpa pikir panjang, Bayu langsung memberikan baju yang baru dibelinya bersama Ibunya itu kepada anak kecil itu. Dan, betapa terkejut dan senangnya anak kecil itu saat Bayu memberikan baju yang baru dibelinya bersama Ibunya itu. Anak itu lari kegirangan seolah meluapkan kegembiraannya yang tak terhingga atas baju yang diterimanya. Begitu juga dengan Bayu, ia merasa seolah telah memberikan hadiah yang terbaik bagi dirinya yang lain. Dan hal itu sangat dipahami oleh Ibunya.
“Kamu sudah dewasa, Bayu. Apa yang kamu lakukan adalah tanda bahwa kamu telah berhasil mendewasakan diri di bulan puasa ini. Dan baju terbaik bagi orang-orang yang berhasil membersihkan diri dari hal-hal yang berbau duniawi adalah pahala Tuhan yang tak terhingga di akhirat nanti. Selamat ya, Nak?” sembari mengeluarkan bungkusan yang disembunyikannya sedari tadi.
“Apa ini, Bu?” Tanya Bayu penasaran.
“Buka saja!”
Betapa kagetnya Bayu melihat bahwa yang ada dalam bungkusan itu adalah baju baru yang selalu diidam-idamkannya selama ini. Dan penasaran Bayu itu terus berlanjut.
“Tahu dari mana kalau Bayu sangat menginginkan baju ini, Bu?”
“Apa sih yang nggak Ibu ketahui tentang kesukaanmu? Hampir semua bajumu ‘kan lengan panjang bergaris warna hijau?” diiringi senyum manis tanda cinta seorang ibu kepada anaknya.
Benar. Tak selamanya keinginan pribadi harus dituruti, karena masih banyak keinginan orang lain yang belum tentu keturutan. Dan itu menjadi pelajaran yang berharga bagi Bayu pada Ramadhan ini untuk menuju Hari Kemenangan nanti.
*****


Untuk mereka yang menganggap harta adalah segalanya!

Cerita Pendek II (20-10-2010)

Layang Buat Emak


Selasa, 01-04-2008

Teiring puji syukur kehadirat Allah, Robbi yang telah melimpahkan segala karunia yang tiada terkira kepada hamba-Nya sehingga dengan nikmat itulah terlayangkan kembali sepucuk layang ini sebagai wujud pemberian dari-Nya.
Alhamdulillah, bagaimana kabar Emak? Semoga Tuhan selalu menaungi Emak dengan segala Rahman Rahim-Nya. Kiranya tak kurang suatu apapun dalam kegiatan dan rutinitas sehari-hari. Saya juga baik, keluarga di rumah juga. Setidaknya dalam kegiatan seperti biasa. Tak lebih, karena penjelasan lebih rinci mengenai mereka akan membuat terlalu panjang hal-hal yang ingin saya utarakan. Terlepas dari itu semua maka hal yang paling terbaik adalah tetap ikhtiar dan tawakal pada-Nya.
Ya, melanjutkan layang pertama saya, sebenarnya saya ingin komplain kepada Emak, mengadukan perihal yang saya alami saat ini. Saya pelik, tak ubahnya musafir yang kehilangan arah. Bagaimana tidak, ketika saya mengalami masalah ini banyak orang yang hanya diam pada saya. Sepertinya tak ada masalah serius yang saya alami. Mereka menganggap ini hanyalah masalah biasa, padahal bila diamati dengan serius maka akan berdampak serius pada nasib saya selanjutnya. Bahkan, orangtua yang saya percayai yang saya bisa harapkan bantuannya malah melemparkan masalah ini kepada orang lain. Apa itu tidak menyakitkan hati saya?
Saya sudah berusaha sebisa mungkin, bila mentok maka akan saya kembalikan pada orangtua saya. Pada kenyataannya, bantuan yang saya nantikan tak kunjung datang, yang ada hanyalah sebuah pernyataan agar minta bantuan kepada orang lain. Lalu, dimanakah letak bentuk belas kasih orangtua terhadap anaknya? Apakah wajar bila seorang anak meminta belas kasih kepada orang lain, padahal orang tuanya masih ada. Apakah Cuma “mengemis-ngemis” jalan keluar untuk mendapat secuil bantuan itu? Saya tak mengerti apa yang sebenarnya yang diinginkan orang tua saya. Padahal, beliau sendiri agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh agar kelak menjadi orang yang sukses dan berhasil, minimal tak seperti orang tuanya. Namun bila tak diiringi oleh tindakan, apakah keinginan dan harapan itu bisa terwujud? Lalu, bentuk bantuan yang bagaimana agar dapat mencapai itu semua?
Sepertinya saya sudah mulai pusing dihantui masalah ini, masalah lain belum selesai harus di tambah masalah lagi. Memang, hidup itu penuh dengan masalah. Jika tidak punya masalah berarti tidak hidup. Wong yang mati saja masih punya masalah, kok?! Saya tidak mengerti bagaimana caranya buat meyakinkan Emak tentang masalah saya ini. Sudah terlalu banyak masalah yang harus saya selesaikan dari sekian banyak masalah yang saya alami. Tak ada yang bisa memahami bagaimana saya saat ini. Terlalu lama saya memendamnya, bahkan hampir-hampir saya bisa gila dibuatnya. Apa Emak tak merasakan apa yang saat ini saya rasakan?
Kalau tidak salah, tanggal dua Juni sudah diadakan mid semester, dan itu merupakan salah satu bagian dari kegiatan rutin kampus yang tak bisa dipungkiri. Setidak-tidaknya sebagai evaluasi paruh semester ini. Segala hal yang berhubungan dengan perkuliahan telah saya lakukan. Mulai dari kuliah harian, diskusi, sharing dengan dosen pembimbing, telaah mata kuliah, pembuatan tugas dan makalah, debat dan tanya jawab dalam diskusi dan kuliah. Semua telah saya lakukan untuk mendapatkan nilai yang kumulatif agar IP saya akhir semester kedua nanti bisa lebih baik lagi daripada semester pertama. Namun, ada suatu hal yang membuat saya risau, yang membuat saya pesimitis untuk bisa mengikuti mid semester dan semester/UAS nanti. Ya, sebuah masalah klasik yang membuat Lintang (tokoh dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata) tidak bisa melanjutkan sekolahnya lagi walaupun dia memiliki otak secerdas Albert Einstein (ilmuwan Fisika dunia tercerdas dimasanya). Benar, masalah klasik itu adalah biaya!
Saya sadar, masalah klasik itulah yang membuat anak-anak di Indonesia ini yang bernasib sama dengan Lintang tak bisa mewujudkan cita-citanya, bahkan untuk sekedar melanjutkan sekolah lagi pun tidak bisa. Memang, sepertinya sudah Sunnatullah! Anak-anak yang dikaruniai Tuhan otak yang cerdas selalu saja berasal dari golongan yang tak berpunya (baca: miskin). Dan untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya, orang tuanya tak ayal mereka harus bekerja keras untuk mewujudkan (baca: kerja sambilan setelah sekolah). Sedangkan, anak-anak yang dikaruniai otak pas-pasan dan berpikiran lambat selalu berasal dari keluarga yang mampu dari segi fisik, psikis, dan materi. Pokoknya serba kecukupan! Mereka hanya dituntut untuk sekolah dan belajar, tak perlu memikirkan hal yang lain. Namun ternyata mereka ogah-ogahan bahkan malas-malasan untuk melakukannya padahal hidup mereka sudah terpenuhi, ingin sesuatu tinggal minta tanpa susah payah kerja keras. Coba bandingkan dengan anak-anak miskin di atas yang hampir seluruh waktunya habis hanya untuk mencari penghasilan demi melanjutkan studinya tersebut! Tak jarang mereka mencuri-curi waktu disela kerjanya untuk belajar, mengerjakan tugas, bahkan membantu keluarganya. Ah…. Sunnatullah!
Lalu saya berpikir, benarkah ini adalah sunnatullah? Kenapa harus begini jalan hidup di dunia ini? Inikah keadilan Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya? Dimanakah letak Rahman Rahim-Nya kepada umat-Nya? Haruskah begini “sandiwara dunia” ini? Lihat saja sekarang, banyak orang bodoh dan kaya yang dengan kekayaannya itu dapat membeli semua yang mereka inginkan, dapat memenuhi segala kebutuhannya dan hajat hidupnya tercukupi. Mereka seolah-olah “penguasa” dunia ini. Bandingkan dengan orang cerdas yang miskin yang harus terlunta-lunta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan tak jarang dari mereka diperbudak oleh kekayaan orang bodoh yang kaya tadi. Mereka melakukan apa saja asal bisa mendapatkan sepercik kekayaan orang tersebut, bahkan keimanan dan harga diri rela mereka gadaikan. Mereka seolah “pengemis” yang tak bisa berbuat apa-apa dengan kecerdasannya itu! Ya, mungkin seperti itulah posisi saya saat ini, tak bisa berbuat banyak dengan kelebihan yang saya miliki.
Mengapa saya bercerita begini pada Emak? Mengapa saya memberikan gambaran dan contoh seperti kepada Emak? Asal Emak tahu, saya tak lebih dari “pungguk merindukan bulan”. Apa Emak sadar bahwa kerja sambilan saya, yang berangkat sehabis Subuh pulang waktu Dluhur, lalu habis Dluhur kuliah sampai Maghrib dan tiba di rumah mau Isya’, bahkan kalau libur kuliah saya membantu menjaga kios untuk menambah uang saku. Semua itu saya lakukan setiap hari tanpa kenal liburan. Demi apa? Hanya demi memenuhi transport saya saja dan membayar SPP setengah bulan saja? Apa memang Emak tahu kalau kerja sambilan dan menjaga kios hanya mendapatkan bayaran tak sampai yang diinginkan?
1. Coba Emak hitung, anggap saja gaji saya Rp 200.000
2. Lalu, transport saya setiap hari Rp 5000 x 30 hari = Rp 150 ribu
3. Sisa yang saya dapatkan hanya Rp 50.000
4. Padahal SPP bulanan saya Rp 100.000
5. Lalu, dari mana saya bisa mendapatkan Rp 50.000 lagi untuk bisa memenuhi Rp 100.000?
6. Secara otomatis saya tidak bisa jajan atau sarapan atau makan karena bayaran saya sudah mentok segitu. Saya juga tidak bisa bolak-balik pulang hanya untuk makan karena itu akan menambah uang transport lagi. Apa Emak tahu, bagaimana kerja dalam keadaan lapar? Sampai-sampai waktu kuliah pun saya sering tidak konsentrasi menerima pelajaran karena ngantuk, kecapekan, dan lapar. Kurang bagaimana lagi yang harus saya lakukan untuk dapat menyelesaikan itu semua?!
*****
Padahal ini baru semester kedua. Entah bagaimana semester-semester yang akan datang, yang tentunya akan semakin parah dari semester ini. Kalau bagini terus, kalau statis seperti ini, kapan saya akan maju? Dihitung secara kasar seperti di atas saja sudah ada yang minus atau kurang. Bagaimana kalau ada kebutuhan lain yang mendesak seperti pengetikan makalah, photo copy buku atau bahan kuliah, kegiatan kampus, dan pembayaran mid semester dan semester/UAS? Rasanya mesti saya harus cari lagi penghasilan lain untuk memenuhi itu semua. Tapi, mampukah saya dari segi psikis dan fisik, sebab manusia bukanlah robot yang selalu kerja, kerja tanpa istirahat?!
Memang, kita tidak bisa mendahului takdir. Mengetahuinya saja kita tidak bisa. Semuanya penuh misteri dan rahasia. Kita tidak tahu apa yang akan kita lakukan esok hari, lusa, dan seterusnya, sebab hidup adalah hari ini, bukan kemarin! Namun, kenyataan tidak bisa kita pungkiri. Kenyataan adalah apa yang kita hadapi saat ini. Kita hidup dalam kenyataan, bukan dari mimpi, khayalan, imajinasi, angan-angan, masa lalu, atau masa depan. Kenyataan yang sebenarnya ada di depan kita, bukan untuk dihindari tetapi untuk di hadapi. Kita yang takut akan kenyataan lebih baik mati saja daripada hidup selalu dihantui oleh kenyataan. Baik maupun buruk, semuanya telah ditetapkan di lauhul mahfudh sana. Kita mesti menjalani dan memperbaikinya, sebab Tuhan tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu tidak merubah dirinya sendiri! Namun, Emak... kita tidak bisa menjalani kenyataan tanpa adanya faktor-faktor yang mendukungnya. Seperti saya sekarang ini, saya tidak bisa menjalani kehidupan saya tanpa adanya hal-hal yang mendukung saya. Saat ini, setiap detik, adalah hidup saya yang mesti saya jalani. Entah itu lancar atau penuh halangan, bagi saya tidak masalah. Hanya saja keinginan dan cita-cita saya itu mesti saya raih untuk memperbaiki kehidupan saya nantinya, sebab saya tidak ingin hidup seperti ini lagi nantinya! Saya ingin berubah! Dan, Emak adalah penentu kehidupan saya. Saya tidak mungkin ada tanpanya Emak. Saya tak mungkin hidup tanpa Emak. Saya tidak mungkin seperti ini tanpa Emak pula. Saya ingin Emak mengerti bagaimana peliknya saya. Saya ingin Emak membantu dari segi moril dan materil. Saya ingin Emak, sebab saya bagian dari Emak.
Emak...
Durhakalah aku, jika hidupku tak ada dirimu.
Emak...
Durhakakah aku, jika hidupku tak ada ridhomu?
Emak...
Berdosakah aku, jika hidupku tak kutemui suci kasihmu?
*****
Emak... waktu Emak kirim uang bulan Maret kemarin, saya sudah bilang sama Mbak Iik kalau saya butuh uang buat bayar daftar ulang atau registrasi tiap semester. Saya tahu kalau saya minta uang terlalu banyak, sebab bayaran pertama waktu itu hanya cukup membayar separuh dari yang akan saya bayarkan. Akhirnya saya minta Rp 100.000 saja karena sisanya dipakai buat belanja kebutuhan sehari-hari, buat Arifin dan Fatimah, dan bayar hutang. Sampai sekarang pun saya belum bisa bayar lagi. Sebab harus nyelengi lagi dan nunggu kiriman dari Emak. Uang saya sendiri sudah saya pakai buat kebutuhan mendesak. Seperti yang telah disebutkan. Tapi sepertinya Mbak Iik berkelit. Mungkin uang kiriman bulan April sudah dia pakai buat tambahan mbangun rumahnya soalnya dia selalu tak rela bagian dari jatah saya ambil. Seharusnya, uang kiriman itu buat Fatimah, Arifin, saya dan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk dia sendiri. Keterlaluan! Makanya, saya mohon dengan amat sangat sama Emak, mulai bulan Mei Emak bagi tiga (saya, Fatimah, keperluan sehari-hari) masing-masing Rp150.000, sebab dengan begitu jatahnya jelas, adil, tak ada yang tercurangi, dan diangkangi sendiri sama Mbak Iik karena saya sudah tidak lagi percaya sama dia. Begitu!
Kiranya, begitulah saran saya dan sampai di sini unek-unek yang saya sampaikan. Masih banyak hal yang ingin saya utarakan namun terbatas oleh ruang dan waktu. Maafkan bila saya telah menyakiti Emak. Restu dan doa Emak selalu saya harapkan.
Salam,
Anakmu yang tak tahu diuntung.
*****


Tentang Penulis

Muh. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang, 24 Mei 1988
Mengenyam pendidikan di Ponpes Langitan Widang Tuban;
Ponpes Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono Nganjuk;
dan Bumi Damai Al-Muhibbin Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa semester VII
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang,
serta mengemban amanat sebagai Lurah HMP Bahtra Indonesia 2010-2011.
Buku antologi bersamanya Sajak-sajak Lentera Kejujuran (Bahtramedia Press, 2010)
dan Sajak Kupu-kupu (PUstaka puJAngga, 2010).
Sedang mempersiapkan buku antologi puisi tunggalnya, Puisi Tak Bernyawa dan Sajak Bertuah. Serta novel Cerita Cinta Anak Remaja dan Dari Langit ke Bumi.
Kini bergiat di komunitas GubugLiat. Pengelola RumahMerangkaiKata.blogspot.com


*****

Cerita Pendek (20-10-2010)

Perempuan Matahari

Jika diibaratkan matahari sebagai lampu, maka ia akan menyinari tiap lekuk gelap yang menyelinap di sela-sela pelipit. Entah itu ruang entah itu badan. Sebab matahari adalah cahaya mahacahaya yang menyinari setiap yang pekat dan yang kelam.
Di pagi beku pun, terlihat lelehan embun berjingkat menjadi butiran air hangat ketika diterpa sang matahari. Ia membikin lumer apa yang disentuhnya dan memberi rasa panas bagi yang dingin. Tak ‘kan pernah habis sinarnya walaupun pada Hari Akhir nanti!
Dalam pada itu, matahari menjelma menjadi perempuan yang meneduhkan tiap insan. Perempuan bersahaja tanpa hirau suasana yang tak bersahabat. Ia adalah matahari itu, memberi faedah bagi siapa yang membutuhkannya. Tak peduli kawan tak peduli lawan. Baginya, menjadi pelita adalah tugasnya, dan secuil pun ia tak mengeluh.
Peraupannya secerah kakak sang pagi. Lembut namun membara menunjukkan sengat keranuman sang hawa. Teduh sinarnya menyiratkan kelembutan kasih-sayang yang diberikan tanpa pandang makhluk. Tak ada tabir di balik itu semua. Ia adalah pelita, pemberi jalan untuk merasakan betapa berat menjalani kehidupan tanpa seberkas pun cahaya penerang.
*****
Sering aku berpikir, sebesar itukah perempuan berkorban. Tanpa melihat bahwa ia hanyalah sebagian tulang rusuk sang adam ketika dicomot Tuhan sewaktu di surga sana. Ia tak peduli dengan kondisi dirinya. Ia tak peduli dengan “harga diri”nya. Baginya, pemenuhan kebutuhan hidup dan keluarganya adalah prioritas meskipun setiap hari harus ditimpa cahaya yang lebih besar darinya.
Tak pandang asap-asap protokol lampu merah yang kian menyedak pernafasannya. Gas buangan knalpot itu hanya dianggap kasturi yang dihidangkan setiap pagi hingga menjelang lohor. Kandungan CO2 dan gas beracun lainnya hanyalah sekelumit hiruk-pikuk kehidupan ketika di akhirat sana. Betapa ia menikmati tiap hirupan itu!
Satu, dua, tiga pengendara menghampiri. Merogoh kantong rupiah mereka untuk menikmati kabar terhangat yang terjadi di bangsa ini. Kenaikan harga sembako, teroris yang kian rapi dalam beroperasi dan menjalankan modus aksinya, BBM yang dikurangi subsidinya, bahkan dana BOS pun segera disilap (itu akal-akalan pemerintah untuk menghapus dana “cuma-cuma” itu bagi sekolah dasar dan menengah pertama). Semua kabar itu mereka nikmati sembari menenggak hangat kopi atau teh yang terhidang di meja makan bersama sang istri tercinta (sungguh nikmat kehidupan seperti itu!)
Tak seperti halnya ia. Ba’da subuh, ia harus berangkat menuju sang agen warta untuk dijajakan di sepanjang jalan KH. Wachid Hasyim. Belum sempat menikmati sarapan ala pembaca suratkabar tadi _apalagi sekedar menyuguhkan makan pagi untuk anak-anaknya yang hendak berangkat sekolah_ ia harus mengejar para pembeli, sebab semakin siang sebuah berita menjadi basi (itu pikir mereka: para pembeli tadi!). Seringkali anak-anaknya hanya ia sisipi selembar uang seribu di saku baju sekolah mereka ketika tengah tidur. Setidak-tidaknya itu yang bisa ia berikan untuk melihat semangat anak-anaknya saat bersekolah.
Selepas mengambil jatah koran yang akan dijual, ia berkibar-kibar di sepanjang jalan itu, berteriak-teriak agar koran hari itu laku terjual, dan uang yang diperoleh tidak seberapa itu (setelah dipotong si agen tadi) ia belanjakan untuk mengisi perut hari ini. Beras (itu pun kalau sedang tidak harga naik), seiris tempe, seikat kangkung (itu pun tidak seikat penuh), dan sisanya untuk uang saku anak-anaknya esok hari. Begitu terus yang ia lakukan. Kehidupan yang statis dengan pemasukan yang konstan pula merupakan putaran dadu nasib yang menjadi lahapan sehari-hari. Namun, ia tak menyadari akibat sering menghirup asap-asap kendaraan tersebut akan menjadi penyakit di kemudian hari (itu pula belum masuk dalam anggaran biaya tadi, yakni biaya kesehatan!)
Keterharuannya memicingkan orang-orang di sekitarnya. Tak peduli berat pikul tanggung jawab yang dibebankan di atas pundak rapuhnya. Sepasang mata menirus bermetamorfosa bak laguna ditinggal payaunya. Sekelebat hina-dina menjadi pancaran kekuatan menghempas lalim mereka. Ia jawab dengan peluh bergemuruh menghantam cucuran cuaca yang mahapanas.
*****
Sempat kuberpikir, kenapa harus ia _perempuan itu_ yang menjual koran di tepi jalan, menantang panas juga silau asap-asap motor dan mobil yang lalu-lalang? Sekuat itukah fisik sang perempuan? Sekuat itukah ia memanggul berton-ton beban keluarganya? Sekuat itukah roda hidup yang harus ditanggungnya demi singkat kehidupan yang diberikan-Nya?
Sungguh, aku tak mengerti bagaimana menyelami hati dan pikiran perempuan. Aku seperti orang yang linglung, tak tahu caranya mendefinisikan mereka. Terkadang aku senang dengan mereka karena akan menambah semangat dan spirit dalam hidupku (pikiran bocah ingusan selalu seperti itu). Namun, terkadang juga aku sedih dengan mereka yang dirundung kemalangan dan kesengsaraan yang tak tahu jeluntrungnya. Aku paling tidak tega melihat perempuan bersedih, apalagi sampai menitikkan air mata. Kepiluan mereka sangat aku rasakan seolah aku sudah menyatu dengan mereka. Aku seolah berada pada satu persimpangan yang tak bisa kujelaskan dengan berbagai bahasa pun. Tangis mereka adalah isyarat keguncangan bumi yang tiada berhenti. Gunung-gunung menumpahkan amarahnya, laut dan samudra meluapkan kebenciannya, dan pohon-pohon pun menumbangkan kebajikan yang telah mengakar kuat dalam rahim dunianya; dunia perempuan.
Akan tetapi, aku juga paling tidak berkenan ketika seorang perempuan itu kurang ajar dan tidak berperikemanusiaan. Yakni, perempuan yang tidak menghargai kodratnya sebagai perempuan. Perempuan yang terlalu mendewakan kuasanya atas segala sesuatu yang ada dalam hidupnya. Perempuan yang terlalu mengumbar keperempuanannya di hadapan publik. Perempuan seperti itu seolah tidak menyadari dan mensyukuri apa yang telah dilimpahkan Tuhan terhadapnya. Mereka adalah simbol kelaknatan yang tak akan dimaafkan oleh tujuh langit, tujuh bumi, dan tujuh samudra.
Juga, perempuan yang tak pernah menyayangi sesamanya, lingkungannya, keadaannya, bahkan takdirnya. Mereka adalah makhluk yang nista. Bahkan, seekor amuba pun enggan menerima jasadnya ketika mereka meninggal. Perempuan seperti ini adalah model perempuan yang tak memiliki bentuk cinta dan kasih-sayang dalam dirinya. Tak menghargai segala sesuatu yang ada dihidupnya. Perempuan yang tak ada se-zarrah pun kebajikan yang tertanam dihatinya. Sungguh, terlaknatlah hidup mereka dunia akhirat!
Aku hanya memandangnya dari jauh, melingkari secawan teh yang kuseduh bersama kawan-kawan kuliahku. Aku tak bisa membayangkan, teh hangat yang kuminum ini sama harganya dengan satu koran yang berhasil dijualnya. Betapa kehidupan berbalik 360º antara jarakku saat ini dengan perempuan itu. Cuma 10 meter antara aku dengan ia, dan itu memutar roda takdir yang terlampau jauh. Aku berkaca, bentuk syukur apa yang tidak kulakukan sepanjang hayatku? Bagaimana aku mengemas rasa syukurku dalam rajut perca sang perempuan matahari itu?
Bisa kulihat, peraupan wajahnya menampakkan bahwa ia sudah baya. Sekitar tigapuluh tahunan lah. Ia bersuami sejak berusia enambelas tahun. Bisa dibayangkan berapa jumlah anaknya. Tak kurang dari enam orang. Sedang suaminya merantau entah kemana meninggalkan perempuan itu sendiri merawat keenam anaknya yang masih kecil-kecil (umur mereka pun hanya terpaut satu tahun satu sama lain!).
Entahlah, kenapa aku bisa melihat kehidupan seseorang dan keluarganya hanya dari raut wajahnya!
Anak tertua kelas lima SD (tentu saja bisa sekolah karena sekolah sekarang “gratis”). Yang kedua kelas empat SD (begitu pula di bawahnya, sampai yang paling bungsu baru masuk TK [itu pun karena belas-kasih para tetangga yang tak tega melihat semua anak perempuan itu bersekolah]). Bagaimana mungkin ia mampu membiayai dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya?!
Teh yang kuseruput tak menampilkan rasa manis di ujung-ujung lidahku. Pahit terasa sebab pahit pula merasakan keterpurukan perempuan penjual koran itu. Makin kutelan makin membekas di perutku cerecak teh itu seiring berkas rona hidupnya yang pahit, membekas hingga ke pencernaanku. Aku menelan empedu pagi itu! Bagaimana mungkin penggelap uang negara miliaran rupiah itu bisa leluasa bertamasya ke Pulau Dewata sembari menonton pertandingan tenis, sedang di tengah jantung Kota Santri ini kusaksikan adegan live seorang perempuan penjaja koran di perempatan lampu merah kota sedang berjuang menjual koran dan “harga diri”nya demi sesuap nasi dan membiayai keenam anaknya? Alangkah lucunya negeri ini! (meminjam judul film garapan aktor gaek Deddy Mizwar).
*****
Bergeser pula matahari itu ke barat. Meninggalkan ufuknya berganti selaput sore yang akan menjelang. Waktu masih kisaran pukul satu siang, dan koran di rangkulan perempuan itu habis. Kali ini sang hari berpihak padanya. Kadangkala korannya tak habis walaupun berjualan hingga sore. Terlihat di cekung matanya derai-derai syukur teruntukkan buat Sang Pencipta Matahari. Tirus kemudaannya tampak memudar karena saban hari tersengat surya tiada henti, memperlihatkan bahwa umur perempuan itu lebih tua dari semestinya. Ia pun segera beranjak pulang guna merampungkan peran sebagai ibu bagi keenam anaknya yang sedang menanti di rumah.
Aku masih duduk di situ, di tempat yang sama saat kuseduh teh hangat pertama. Telah habis bergelas-gelas teh, dan telah beranjak dari tadi pula kawan-kawanku menuju kampus. Aku masih terpekur dan terhenyak menyaksikan realitas kisah hidup di deras arus modernisasi kota kecil ini. Aku memikirkan, seandainya itu orang-orang terdekatku bahkan saudaraku? Bukankah hanya tangis dan ratap tak henti-henti yang kuluncurkan tiap hari di sela-sela dua mataku? Apa dengan berlaku seperti itu akan merubah kehidupanku?!
Dan pengembaraan panjang lamunanku membuat cepat begitu saja peristiwa itu terjadi. Banyak orang berkerumun di tengah jalan. Sebagian yang lain sedang menghakimi pengendara Avanza berplat merah. Kutaksir pengendaranya adalah seorang pejabat pemda setempat. Jalan tersebut macet. Entah aku masih melamun atau hanya fatamorgana, darah bermuntah dimana-mana. Apa gerangan sedang terjadi?
Orang-orang sibuk. Ada yang beristighfar, ada yang memaki-maki, ada yang diam saja, dan ada pula yang tertawa (entah menertawakan apa). Aku bingung, darah siapakah itu? Kenapa bisa tercecer di jalan raya? Pertanyaan itu begitu saja berkelebat di pikiranku.
Kuterabas kerumunan tersebut. Aku terkejut. Langit mendung, hilang pancaran cahaya sang matahari. Hari gerhana. Matahari hilang. Gelap menggelayuti. Dan keterjutanku tak urung-rampung. Perempuan itu... perempuan matahari itu... .
*****



didedikasikan untuk:
Perempuan penjual koran di perempatan lampu merah
Jalan KH. Wachid Hasyim Jombang





Tentang Penulis

Muh. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang, 24 Mei 1988
Mengenyam pendidikan di Ponpes Langitan Widang Tuban;
Ponpes Miftahul ‘Ula Nglawak Kertosono Nganjuk;
dan Bumi Damai Al-Muhibbin Ponpes Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa semester VII
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang,
serta mengemban amanat sebagai Lurah HMP Bahtra Indonesia 2010-2011.
Buku antologi bersamanya Sajak-sajak Lentera Kejujuran (Bahtramedia Press, 2010)
dan Sajak Kupu-kupu (PUstaka puJAngga, 2010).
Sedang mempersiapkan buku antologi puisi tunggalnya, Puisi Tak Bernyawa dan Sajak Bertuah. Serta novel Cerita Cinta Anak Remaja dan Dari Langit ke Bumi.
Kini bergiat di komunitas GubugLiat. Pengelola RumahMerangkaiKata.blogspot.com


*****